Senin, 26 April 2010

Nyanyian Milarepa

Jetsun Milarepa

PENGANTAR


Instruksi meditasi yang diberikan oleh Guru Marpa dicatat Milarepa setelah lama melayani dan menjalani masa percobaan yang berat. Milarepa mengatakan bahwa lewat praktik instruksi-instruksi itulah beliau mencapai pencerahan (lihat akhir Pengantar ini).


Nama beliau yang dikenal di Tibet adalah Jetsun Milarepa. ‘Jetsun’ adalah panggilan kehormatan yang berarti ‘suci’, sedangkan ‘Repa’ berarti ‘terbungkus kain katun’. Mila adalah nama keluarga. Jadi panggilan itu berarti: ‘Mila suci yang terbungkus kain katun’. Beliau memperoleh nama yang terakhir itu karena kesaktiannya yang luar biasa sehingga dapat hidup melalui musim dingin Tibet yang menusuk hanya dengan mengenakan satu lembar kain katun. Orang lain akan mati kedinginan, tetapi beliau hidup dengan bahagia, tenggelam dalam berbagai keadaan samadhi yang dapat dikendalikan sehingga menghasilkan panas tubuh yang cukup. Setelah dua belas tahun bermeditasi secara khusuk di gua-gua pegunungan yang jauh dari jangkauan orang-orang yang tinggal di lembah-lembah bawah, beliau berhasil mencapai Pencerahan. Setelah itu, lambat laun banyak murid yang berkumpul di sekitar gua. Yang pertama adalah Rechungpa, murid Milarepa yang ‘bagaikan rembulan’. Kemudian datang murid berikutnya Gambopa*, yang ‘bagaikan matahari’. Murid-murid terdekatnya meninggalkan kehidupan berumah untuk menjalani kehidupan tak-berumah bersama beliau. Gambopa dan beberapa lainnya sudah menjadi bhikkhu, sementara banyak lainnya seperti misalnya Rechungpa disebut ‘Repa’, yaitu yogi yang terbungkus satu helai kain.


Seperti Sang Buddha, Jetsun mengajarkan Dhamma pada semua orang –pada utusan raja dan penggembala, pada bhikkhuni dan wanita kaya, pada bhikkhu dan yogi, pada bandit dan pedagang. Keberhasilan beliau mengubah si pemburu, Chirawa Gwumbo Dorje, merupakan kisah yang di Tibet sama populernya dengan kisah Penaklukan Angulimala oleh Sang Buddha di negara-negara Buddhis bagian selatan.

Pada usia delapan puluh tahun, Jetsun Milarepa melepaskan tubuhnya, wafat dikelilingi para muridnya, baik manusia maupun dewa. Selama 900 tahun, tradisi meditasi yang dilatihkan pada murid-muridnya, telah diturun-temurunkan di Tibet. Tradisi ini dikenal sebagai Ghagyupa (kadang-kadang dianggap Kargyutpa) yang diterjemahkan menjadi ‘Transmisi yang Dibisikkan’. Tentu saja tradisi praktik Buddhis ini memiliki penekanan khusus pada doktrin-doktrin tertentu. Namun nyanyian-nyanyian yang berhubungan dengan doktrin-doktrin itu tidak tercakup dalam buku kecil ini. Mereka yang tertarik dapat membaca buku Hundred Thousand Songs of Milarepa.


*Dalam bahasa Inggris, kami memiliki karyanya “Jewel Ornament of Liberation”, yang diterjemahkan oleh H.V. Guenther, Rider & Co., London


Pada zaman Milarepa –-seperti yang terlihat dari nyanyian-nyanyian ini-- banyak bhikkhu yang telah bertahun-tahun belajar, namun tidak banyak memperhatikan praktik. Ini merupakan persimpangan yang membuat patipatti-dhamma dari sila (peraturan moral) dan samadhi (meditasi) menjadi berbeda dari pariyatti-dhamma atau sekadar belajar. Pada saat itu, para bikkhu Tibet yang terpelajar sangat pintar memperdebatkan pokok-pokok filsafat Buddhis yang tinggi, serta pandai berlogika untuk berdebat dan merendahkan orang luar dan sesama Buddhis. Entah bagaimana, karena kekacauan studi ini (Kitab Suci Tibet dan Kitab Komentarnya jauh lebih lengkap daripada Kitab Suci Pali yang panjang), dan karena adanya dorongan untuk mempraktikkan meditasi, kebanyakan orang yang menjadi suri teladan justru master-master yang tidak berjubah bhikkhu. Itu pulalah yang terjadi di zaman leluhur spiritual Milarepa (Guru langsungnya, Marpa, dah yogi-yogi India, Naropa dan Tilopa). Di beberapa tempat, beliau mengritik para bhikkhu dan siapa pun yang mempelajari Dhamma hanya demi kepuasan intelektual atau bahkan demi keuntungan duniawi. Banyak bhikkhu yang dengan tulus datang pada Milarepa untuk mendapatkan instruksi-instruksi meditasi dan kemudian berlatih di bawah bimbingan beliau sebagai guru mereka. Karena itu, Milarepa merupakan sumber regenerasi spiritual Sangha di Tibet.


Karena menekankan praktik Dhamma, kehidupan dan ajaran Milarepa dalam banyak hal sangat mirip dengan yang dipraktikkan oleh para bhikkhu thudong (dhutanga). Hanya bedanya, bila seorang bhikkhu di negara mana pun terikat Peraturan-peraturan Dasar (Patimokkha), Milarepa tidak terikat menjalankan Patimokkha karena beliau tidak mendapat pentahbisan bhikkhu (Upasampadha). Walaupun demikian, bila kita amati kehidupan Milarepa setelah mulai berpraktik, akan tampak bahwa beliau kukuh mempertahankan peraturan-peraturan yang diberikan kepadanya oleh gurunya, Marpa Sang Penerjemah. Milarepa juga mengembangkan dasar-ganda untuk perilaku moral Dhamma, yaitu Kebijaksanaan dan Kasih Sayang (pañña-karuna). Milarepa mirip dengan bhikkhu thudong. Keduanya menjunjung tinggi pentingnya rasa puas dengan hanya memiliki barang sedikit, hidup di tempat yang terpencil bebas dari urusan-urusan duniawi, kemampuan yang besar dalam meditasi, dsb.

Walaupun tidak memiliki pentahbisan resmi sebagai bhikkhu dan tidak mengenakan jubah bhikkhu, Milarepa benar-benar orang yang telah maju (pabbajita). Hal ini tidak dapat diragukan bila kita telah membaca riwayat kehidupan beliau dan beberapa nyanyian yang tercakup disini. Menurut definisi yang diberikan Dhammapada, Milarepa benar-benar seorang bhikkhu sejati.


“Bukan dengan memakai bentuk luar tertentu orang dapat menjadi bhikkhu’(266).

“Dia yang tidak memiliki keterikatan apa pun terhadap ‘batin-dan-tubuh’ dan yang tidak menangisi apa yang tidak dimilikinya, -- dialah yang sebenarnya dapat disebut bhikkhu.’ (367).

‘Siapa pun di sini, yang telah meninggalkan kebaikan dan kejahatan, dia yang suci, dia yang berjalan dengan pemahaman di dunia ini, -- dialah yang sebenarnya dapat disebut bhikkhu’ (267).


Hal-hal tersebut, dan mungkin beberapa lainnya, dapat dianggap sebagai petunjuk bahwa praktik Dhamma (patipatti)-lah yang merupakan titik persamaan bagi berbagai sekte pemikiran Buddhis. Akhirnya, di dalam realisasi Dhamma (pativedha)-lah semua perbedaan berhenti, karena semua metode yang dipraktikkan oleh sekte apa pun –tanpa kecuali—menuju pada pengalaman Bodhi, atau Pencerahan. Jika Dhamma hanya dipelajari dari buku, maka banyak perbedaan yang tampaknya memisah-misahkan berbagai tradisi Buddhis. Tetapi dalam praktik, banyak sekali kesamaannya. Karena semua umat Buddhis didorong untuk mempraktikkan Ajaran-ajaran, melalui praktik inilah dapat dipertemukan keharmonisan antara tradisi Dhamma yang berbeda-beda.


Pengantar kecil ini akan diakhiri dengan satu bait yang diambilkan dari nyanyian autobiografi, yang sebagian telah dikutip di atas. Tak ada lagi yang perlu dikatakan, karena lebih baik Jetsun-lah yang mendendangkan Nyanyian-nyanyian Kebijaksanaan mengenai Dhamma yang penuh inspirasi ini kepada Anda.


‘Aku tinggalkan semua urusan kehidupan ini; Lalu, tanpa kemalasan lagi, kubhaktikan diri pada Dharma. Dengan demikian telah kucapai Keadaan Kebahagiaan Abadi. Begitulah kisah kehidupanku.’


Khantipalo Bhikkhu

Wat Bovoranives Vihara

Bangkok, Thailand

22 April 1965


Di dalam teks berikut, penulis pengantar inilah yang bertanggung jawab akan cerita-cerita ringkas dan catatan-catatan, kecuali pokok bahasan yang berada di dalam tanda petik. Yang tertulis dalam tanda petik diambil dari buku ‘Hundred Thousand Songs’.





Syair 1 telah tertulis di dalam Pengantar

*******


Θ 2 Θ

Suatu hari, setelah meninggalkan guanya untuk mengumpulkan kayu api, Milarepa pulang dan ‘menemukan 5 raksasa India dengan mata sebesar cawan’, yang beliau anggap sebagai penampakan para dewa yang tidak menyukainya. Karena Milarepa tidak pernah memberi mereka persembahan apa pun, beliau kemudian mulai menyanyikan sebuah ---


Lagu Pujian kepada Para Dewa Lembah Permata Batu Merah

Tempat sunyi di mana gubukku berdiri

Adalah tempat yang menyenangkan para Buddha,

Tempat makhluk-makhluk sempurna bersemayam,

Tempat perlindungan di mana aku berdiam sendiri.

Di atas Lembah Permata Batu Merah

Awan-awan putih berkejaran;

Di bawah, Sungai Tsang mengalir lembut;

Burung-burung nasar liar melayang berputar di atasnya.

Lebah-lebah berdengung di antara bunga-bunga,

Mabuk oleh keharumannya;

Di pohon, burung-burung menukik dan melesat,

Mengisi udara dengan dendangnya.

Di Lembah Permata Batu Merah

Burung gereja muda belajar terbang,

Kera berlompatan dan berayun

Dan hewan berlari dan berlomba,

Sementara aku mempraktikkan Dua Pikiran-Bodhi (1)

Dan senang bermeditasi.

Kalian, para raksasa, hantu dan dewa setempat,

Semuanya adalah sahabat Milarepa,

Teguklah sari madu kebaikan dan kasih sayang,

Kemudian kembalilah ke tempat kediamanmu.


*******



Θ 3 Θ

Suatu hari para murid Milarepa dari Dro Tang datang mengunjungi beliau. Mereka bertanya tentang manfaat tinggal di Junpan Nanka Tsang. Sebagai jawabannya, Milarepa menyanyi:

Aku berdoa kepada Guru-ku yang Suci.

Dengarkan, wahai muridku,

Kan kuberitahukan manfaat tempat ini.

Diselimuti ketenangan indah di Istana Awan Junpan ini

Nun jauh di atas, awan-awan gelap bergumul;

Jauh di bawah sana mengalir Sungai Tsang nan biru.

Dibelakangku menjulang Batu Merah Surgawi;

Di kakiku, bunga-bunga liar mekar, bergoyang dan bertebaran;

Di mulut guaku hewan-hewan (liar) berkeliaran,

Mengaum dan menggeram;

Di langit burung nasar dan elang melayang bebas,

Sementara dari surga turun hujan rintik-rintik.

Lebah-lebah berdengung dan menggumamkan senandung mereka;

Induk kuda dan anak-anaknya melompat-lompat serta berlari liar;

Aliran air berceloteh melewati kerikil dan karang;

Di sela pepohonan, kera-kera melompat dan berayun;

Dan burung-burung menyanyikan lagu-lagu indah.

Suara-suara pas yang kudengar ini semuanya kerabatku.

Kebaikan tempat ini sungguh tak terkira ---

Kini kusampaikan kepadamu dalam nyanyian ini.

Wahai para murid yang baik,

Ikutilah Jalanku dan Teladanku;

Tinggalkan kejahatan, dan praktikkan perbuatan-perbuatan baik.

Secara spontan dari lubuk hatiku

Kuberikan pada kalian instruksi ini.


*******


Θ 4 Θ

Suatu hari, beberapa penduduk desa Ragma datang mengunjungi Jetsun. Mereka bertanya, ‘Mengapa Jetsun amat menyukai tempat ini? Mengapa Engkau amat bahagia di sini? Beritahukan pada kami mengenai hal ini. ‘Sebagai jawabannya, Milarepa menyanyi:

Inilah Tempat-Bodhi, yang tenang dan damai.

Gunung-gunung bersalju, tempat bersemayam para dewa,

Berdiri menjulang tinggi;

Di bawah, nun jauh di desa sana, berdiam para pendukungku yang setia;

Pegunungan yang berselimut salju nan putih

mengelilinginya.

Di latar depan berdiri pohon-pohon pengabul-keinginan;

Di lembah terpapar padang rumput luas, merekah bebas.

Mengelilingi teratai harum nan indah, serangga mendengung;

Di sepanjang tepian sungai

Dan di tengah danau,

Burung bangau merundukkan lehernya, menikmati pemandangan, merasa puas di hati.

Di cabang-cabang pohon, burung-burung bebas bernyanyi,

Tatkala angin bertiup lembut, pohon willow menari gemulai;

Di pucuk-pucuk pohon, kera bergelantungan dan melompat riang.

Di padang rumput hijau yang liar hewan-hewan berpencar merumput,

Dan penggembala yang gembira, ceria dan bebas dari kecemasan,

Mendendangkan lagu-lagu riang dan bermain dengan buluh.

Manusia di dunia, dengan nafsu dan keinginan yang membakar,

Kacau pikiran karena berbagai urusan, menjadi budak-budak bumi.

Dari puncak Karang Permata Gemerlap,

Aku, si yogi, melihat hal-hal ini.

Dengan mengamatinya, kutahu bahwa semuanya berubah dan bersifat sementara;

Dengan merenungkannya, kusadari bahwa kenyamanan dan kesenangan.

Hanyalah sekadar bayangan dan pantulan-pantulan air.

Kulihat kehidupan ini sebagai bentukan dan impian.

Maka kasih sayang yang besar muncul di hatiku.

Bagi mereka yang tidak memiliki pengetahuan akan kebenaran ini.

Makanan yang kusantap adalah Ruang-Kosong;

Meditasiku adalah Dhyana – tak goyah oleh gangguan apa pun.

Berbagai penglihatan dan perasaan semua muncul di hadapanku –

Memang sungguh aneh fenomena Samsara!

Luar biasa menakjubkan dharma di Tiga Dunia (2)

O ... betapa nenakjubkan, betapa mengherankan!

Kosong merupakan sifatnya, namun segalanya terwujud.


*******


Θ 5 Θ

Nyanyian ini didendangkan kepada seorang gadis muda yang elok. Setelah bertanya kepada Milarepa tentang ayah dan ibunya, saudara lelaki dan saudara perempuannya, dia kemudian bertanya: “Tetapi, apakah Engkau juga mempunyai pendamping-pendamping Samsara, anak dan harta benda?” Sebagai jawabannya, Milarepa kemudian menyanyi:


Pada mulanya, segala pengalamanku dalam Samsara (3)

Tampak sangat menyenangkan dan menggembirakan;

Kemudian itu menjadi pelajaran bagiku;

Dan akhirnya, kutemukan Penjara Setan.

Begitulah pikiran dan perasaanku mengenai Samsara.

Jadi kuputuskan untuk meninggalkannya.

Pada mulanya, teman bagaikan bidadari penuh senyum;

Namun kemudian dia berubah galak dan gusar;

Dan akhirnya dia menjadi setan betina.

Begitulah pikiran dan perasaanku mengenai pendamping.

Jadi kuputuskan untuk meninggalkan teman.

Pada mulanya, anak manis itu tersenyum, Bayi dari Surga;

Namun kemudian, dia membuat onar dengan tetangga;

Akhirnya dia adalah kreditor dan musuhku.

Begitulah pikiran dan perasaanku mengenai anak.

Jadi kutinggalkan baik anak maupun keponakan.

Pada mulanya, uang bagaikan Permata-Pemuas-Harapan;

Namun kemudian manusia tidak dapat hidup tanpanya;

Akhirnya, dia merasa bagaikan pengemis tak beruang.

Begitulah pikiran dan perasaanku mengenai uang.

Jadi kutinggalkan baik kekayaan maupun harta benda.

Bila aku memikirkan pengalaman-pengalaman ini,

Tak bisa lain, harus kupraktikkan Dharma;

Bila aku memikirkan Dharma,

Tak bisa lain, harus kutawarkan Dharma pada orang lain.

Bila kematian menjelang,

Maka tak kumiliki penyesalan.


*******


Θ 6 Θ

Dalam perjalanan menuju Shri Ri untuk bermeditasi, Milarepa tinggal di sebuah penginapan. Di situ seorang pedagang bernama Dhawa Norbu (Permata Rembulan) juga tinggal bersama banyak pengikutnya. Ketika Milarepa meminta sedekah makan darinya, pedagang itu berkata bahwa lebih baik Milarepa bekerja untuk menopang dirinya. Milarepa menjelaskan bahwa menikmati berbagai kesenangan di masa kini menciptakan lebih banyak penderitaan di masa depan. Kemudian Milarepa berkata: “Sekarang dengarkanlah nyanyianku.”


DELAPAN PERENUNGAN

Istana dan kota besar merupakan tempat tinggal

Yang kini kau dambakan untuk berdiam;

Namun ingatlah bahwa semua itu akan hancur

Setelah kau pergi dari dunia ini!

Keangkuhan dan keagungan kosong merupakan daya tarik

Yang kini kau ikutin dengan senang hati;

Namun ingatlah, ketika kau akan mati

Semua itu tidak menawarkan naungan dan perlindungan!

Sanak saudara dan handai tolan

Kau inginkan hidup bersamamu;

Namun ingatlah bahwa kau harus meninggalkan mereka

Ketika kau pergi dari dunia ini!

Pelayan, harta kekayaan, dan anak-anak

Kau pegang erat-erat;

Namun ingatlah, pada saat kau mati

Tanganmu kosong, tak bisa membawa apa-apa!

Kekuatan dan kesehatan

Kini kau agung-agungkan;

Namun ingatlah, pada saat kau mati

Mayatmu akan dibungkus dan dibuang!

Kini organ tubuhmu berfungsi dengan baik,

Daging dan darahmu kuat dan bertenaga;

Namun ingatlah, pada saat kau mati

Semuanya itu tak lagi dapat melayanimu!

Makanan yang manis dan enak

Kini kau nikmati dengan gembira;

Namun ingatlah, pada saat kau mati

Mulutmu akan membiarkan liurmu mengalir!

Bila kupikirkan semua ini,

Tak bisa lain, kucari Ajaran Buddha!

Segala kenikmatan dan kesenangan di dunia ini

Untukku tak memiliki daya tarik!

Aku, Milarepa, menyanyikan Delapan Perenungan,

Di Rumah Penginapan di Garakhache Tsang,

Dengan kata-kata yang jelas ini, kuberikan peringatan yang bermanfaat;

Kuhimbau engkau semua untuk memperhatikan dan mempraktikkannya!


*******


Θ 7 Θ

Suatu ketika Milarepa berkata kepada Shindormo, murid wanitanya: “Jika kau memiliki tubuh manusia yang sangat berharga ini, dan kau telah dilahirkan pada waktu dan tempat di mana agama Buddha masih ada, kau benar-benar tolol jika tidak mempraktikkan Dharma.” Milarepa kemudian bernyanyi:

Di telapak kaki Marpa Sang Penerjemah, aku tunduk menghormat,

Dan kunyanyikan ini untukmu, wahai muridku yang setia.

Betapa tololnya melakukan perbuatan yang berdosa (4) karena ceroboh,

Sementara Dharma murni bertebaran disekelilingmu.

Betapa konyolnya menghabiskan seluruh kehidupanmu tanpa makna,

Padahal tubuh manusia yang berharga ini merupakan pemberian langka.

Sungguh bodoh melekati kota-kota besar seperti penjara,

Dan tinggal di sana.

Sungguh lucu berkelahi dan bertengkar dengan anak istri serta saudara,

Yang hanya mengunjungimu saja.

Sungguh tak masuk akal mengharapkan kata-kata manis dan lembut

Yang hanya merupakan gema-gema kosong dalam mimpi.

Sungguh konyol mengabaikan kehidupan orang, berkelahi dengan musuh

Yang hanya merupakan bunga-bunga rapuh.

Sungguh tolol menyiksa diri memikirkan keluarga ketika ajal menjelang,

Karena ini akan mengikatnya pada kerajaan Mara. (5)

Sungguh bodoh berlebihan menghemat kekayaan dan uang.

Yang sebenarnya merupakan hutang yang dipinjam dari orang lain.

Sungguh menggelikan mempercantik dan menghiasi tubuh,

Yang merupakan wadah penuh kotoran.

Sungguh tolol menjadi tegang karena menginginkan kekayaan dan benda-benda,

Dan mengabaikan madu ajaran-ajaran batin!

Di tengah kerumunan orang tolol, mereka yang jernih pikir dan berakal sehat,

Harus mempraktikkan Dharma, demikian pula aku.


*******


Θ 8 Θ

Seorang yogi yang memiliki keyakinan pada Milarepa, datang bersama dengan murid-murid lain. Mereka membawa persembahan dalam jumlah besar, dan bertanya kepada Milarepa “bagaimana beliau mampu menjalani segala ujian dalam masa percobaannya dan bagaimana mengerahkan daya upaya ... “ Milarepa menjawab dengan ...


ENAM TEKAD

Jika orang telah kehilangan minat di dunia ini,

Keyakinan dan kerinduannya pada Dhamma menjadi kukuh.

Meninggalkan keluarga amatlah sulit.

Hanya dengan meninggalkan tanah kelahiranlah

Dia dapat menjadi kebal dari kemarahan.

Memang sulit menaklukkan nafsu yang membara

Terhadap sanak keluarga dan sahabat karib;

Cara terbaik untuk memadamkannya

Adalah dengan memutuskan semua hubungan.

Orang tidak pernah merasa cukup kaya;

Merasa puas hati, dia harus mengenakan pakaian katun sederhana.

Dengan demikian banyak nafsu dan keinginan terpatahkan.

Memang sulit menghindari daya tarik duniawi;

Dengan meneguhi kesederhanaan,

Kerinduan akan kemegahan hampa akan terpadamkan.

Memang sulit menaklukkan kesombongan dan egoisme;

Jadi, seperti binatang,

Hiduplah di pegunungan.

Murid-muridku yang terkasih dan setia!

Begitulah pemahaman sejati

Yang muncul dari keteguhan hati.

Kuharap kau semua mempraktikkan perbuatan yang bermakna (6)

Dan kumpulkan semua jasa!


*******


Θ 9 Θ

Suatu hari, Milarepa pergi mencari sedekah makan dan diejek ketika sampai di suatu pertemuan para pengikut Dharma. Tetapi kemudian salah seorang mengenali beliau dan berkata, “Untuk memberi inspirasi pada peserta pertemuan ini, bernyanyilah untuk kami.” Sebagai jawabannya, Milarepa menyanyikan sebuah nyanyian.


LAUTAN SAMSARA

Aduh, bukankah Samsara bagaikan lautan?

Walaupun menyedot air sebanyak yang ia mau

Lautan tetap saja sama seperti tanpa air itu.

Bukankah Tiga Permata Mulia bagaikan Gunung Semeru,

Yang tak pernah dapat digoncang oleh siapa pun?

...

Adakah bandit Mongolia yang menyerang kediaman Yogi?

Kalau tidak, mengapa para Yogi besar tinggal di kota?

Bukankah orang menginginkan tumimbal lahir dan Bardo? (7)

Kalau tidak, mengapa mereka amat melekat pada murid-muridnya?

Apakah pakaian wol di kehidupan mendatang akan lebih mahal?

Kalau tidak, mengapa di sini wanita banyak memakainya?

Apakah manusia khawatir Samsara akan kosong?

Kalau tidak, mengapa pemuka agama dan umat awam mendambakan anak?

Apakah kau simpan makanan-minuman untuk kehidupan mendatang?

Kalau tidak, mengapa pria dan wanita tidak berdana?

Adakah penderitaan di surga?

Kalau tidak, mengapa amat sedikit yang ingin pergi ke sana?

Adakah kegembiraan di Neraka bawah sana?

Kalau tidak, mengapa amat banyak yang bersiap-siap mengunjunginya?

Tidakkah kau tahu bahwa semua penderitaan

Dan alam-alam rendah adalah hasil dari tindakan tak bajik?

Tentu kau tahu bahwa jika kini kau praktikkan kebajikan,

Bila kematian menjelang, akan kau miliki kedamaian pikiran serta tiada penyesalan.


*******


Θ 10 Θ

Ketika musim gugur akan tiba, Milarepa memutuskan untuk meninggalkan Dataran Tinggi Lowo, tempat beliau membabarkan Dharma di sepanjang musim panas, dan pergi ke Gunung Salju Di Se. Para murid mengadakan pesta perpisahan, mengelilingi beliau dan memberi persembahan serta penghormatan. Kemudian mereka berkata: “Berilah beberapa instruksi dan nasihat pada kami.” Jetsun lalu menekankan ketidak-kekalan semua makhluk, dan mengingatkan mereka untuk mempraktikkan Dharma dengan sepenuh hati. Lalu Milarepa menyanyi....


Nyanyian tentang Sifat Sementara dengan Delapan Perumpamaan

Murid-murid setia yang berkumpul di sini, (bertanyalah pada diri):


“Sudahkah Dharma kupraktikkan dengan sepenuh hati?

Sudahkah keyakinan yang terdalam muncul di hatiku?”


Dia yang ingin mempraktikkan Dharma dan memperoleh keyakinan yang tak bisa luntur,

Harus mendengarkan penjelasan akan Kebenaran-kebenaran Duniawi

Dan merenungkan maknanya dengan seksama.

Dengarkanlah perumpamaan ini:

Lukisan dengan emas,

Bunga-bunga biru kehijauan,

Banjir di lembah atas,

Padi di lembah bawah,

Sutra yang melimpah,

Batu permata yang berharga,

Bulan sabit,

Dan anak tercinta---

Inilah delapan perumpamaan.

Sebelum ini, tak seorang pun pernah menyanyikan

Kata-kata sederhana seperti ini (perihal ini),

Tak seorang pun dapat memahami artinya

Jika dia tidak memperhatikan seluruh nyanyian.

Lukisan emas memudar setelah selesai ---

Ini menunjukkan sifat semua makhluk yang penuh ilusi,

Ini membuktikan sifat semua hal yang hanya sementara.

Berpikirlah, dengan demikian engkau akan mempraktikkan Dharma.

Bunga indah berwarna biru kehijauan

Hancur bersama waktu karena embun beku ---

Ini menunjukkan sifat semua makhluk yang penuh ilusi,

Ini membuktikan sifat semua hal yang hanya sementara.

Berpikirlah, dengan demikian engkau akan mempraktikkan Dharma.

Banjir yang deras menyapu sepanjang lembah di atas,

Segera menjadi lemah dan jinak di dataran rendah di bawah ---

Ini menunjukkan sifat semua makhluk yang penuh ilusi,

Ini menunjukkan sifat semua hal yang hanya sementara.

Berpikirlah, dengan demikian engkau akan mempraktikan Dharma.

Padi tumbuh di lembah bawah;

Segera sabit memanennya ---

Ini menunjukkan sifat semua makhluk yang penuh ilusi,

Ini membuktikan sifat semua hal yang hanya sementara.

Berpikirlah, dengan demikian engkau akan mempraktikkan Dharma.

Kain sutra yang indah

Segera dipotong dengan pisau ---

Ini menunjukkan sifat semua makhluk yang penuh ilusi,

Ini membuktikan sifat semua hal yang hanya sementara.

Berpikirlah, dengan demikian engkau akan mempraktikkan Dharma.

Batu berharga yang kau damba

Segera akan menjadi milik orang lain.

Ini menunjukkan sifat semua makhluk yang penuh ilusi,

Ini membuktikan sifat semua hal yang hanya sementara.

Berpikirlah, dengan demikian engkau akan mempraktikkan Dharma.

Sinar rembulan yang pucat segera akan memudar dan lenyap ---

Ini menunjukkan sifat semua makhluk yang penuh ilusi,

Ini membuktikan sifat semua hal yang hanya sementara.

Berpikirlah, dengan demikian engkau akan mempraktikkan Dharma.

Seorang anak yang dicinta telah lahir;

Segera dia hilang dan pergi ---

Ini menunjukkan sifat semua makhluk yang penuh ilusi,

Ini membuktikan sifat semua hal yang hanya sementara.

Berpikirlah, dengan demikian engkau akan mempraktikkan Dharma.

Inilah delapan perumpamaan yang kunyanyikan.

Kuharap engkau mau mengingat dan mempraktikkannya.

Urusan-urusan dan bisnis selamanya akan menyeretmu,

Jadi taruhlah mereka dan praktikkanlah Dharma sekarang juga.

Jika kau berpikir besoklah waktu untuk berpraktik,

Tiba-tiba kau dapatkan kehidupan telah terlepas pergi.

Siapa yang bisa memberitahu kapan kematian menjelang?

Selalulah memikirkan hal ini, dan Bhaktikanlah dirimu pada praktik Dharma


*******


Θ 11 Θ

Ketika bepergian dengan murid-muridnya, Milarepa sampai di Din Ri Namar. Di situ beliau menanyakan tentang seorang pendukung yang terkenal. Setelah mengetahui bahwa dokter Yang Nge adalah seorang Buddhis yang penuh bhakti, beliau menuju ke rumahnya. Dokter itu berkata: “Saya mendengar bahwa Jetsun Milarepa dapat menggunakan apa pun yang berada di dekatnya sebagai perumpamaan khotbah. Sekarang gunakanlah gelembung-gelembung air parit di hadapan kami ini sebagai perumpamaan, dan berkhotbahlah kepada kami.” Sebagai jawabannya, Jetsun mendendangkan sebuah nyanyian ---

Gelembung-gelembung yang Bersifat Sementara

Aku memberi hormat Guruku yang agung ---

Semoga setiap orang di sini memikirkan Dharma!

Seperti yang pernah beliau katakan, “Bagaikan gelembung kehidupan ini, hanya sementara dan berlalu --- Di dalamnya tak ada kepastian yang dapat ditemukan.”

Kehidupan orang awam bagaikan seorang pencuri

Yang menyusup masuk ke rumah kosong.

Tidakkah kau tahu kebodohan ini?

Masa muda itu bagaikan bunga musim panas ---

Tiba-tiba ia memudar.

Usia tua itu bagaikan api yang menjalar

Membakar ladang-ladang ---

Tiba-tiba ia sudah berada di kakimu.

Sang Buddha pernah berkata, “Kelahiran dan kematian bagaikan matahari terbit dan matahari terbenam--- Begitu saja ia datang dan begitu saja ia pergi.”

Penyakit itu bagaikan burung kecil yang terluka oleh ketapel.

Tidakkah kau tahu, kesehatan dan kekuatan

Pada saatnya akan meninggalkanmu?

Kematian itu bagaikan lampu yang kering minyaknya,

(setelah pijar terakhirnya).

Percayalah, tak ada suatu pun di dunia ini yang kekal.

Karma buruk itu bagaikan air terjun,

Yang tak pernah kulihat mengalir ke atas.

Orang yang tak-bajik itu bagaikan pohon beracun ---

Jika kau bersandar padanya, kau akan terluka olehnya.

Orang jahat itu bagaikan polong yang rusak karena dingin ---

Bagaikan lemak yang busuk, mereka menghancurkan siapa pun juga.

Mereka yang mempraktikkan Dharma itu bagaikan petani di ladang ---

Dengan cermat dan semangat, mereka akan berhasil.

Guru itu bagaikan obat dan madu ---

Dengan bergantung padanya, orang akan berhasil.

Disiplin itu bagaikan menara penjaga ---

Dengan menjalankannya, orang mencapai Kesempurnaan.

Hukum Karma tiu bagaikan roda Samsara ---

Siapa pun yang melanggarnya akan rugi besar.

Samsara itu bagaikan duri yang beracun di dalam daging,

Jika tidak dikeluarkan, racun akan bertambah dan menyebar.

Datangnya kematian itu bagaikan bayang-bayang

Sebatang pohon di saat matahari tenggelam ---

Ia berlari cepat dan tak ada yang dapat menghentikannya.

Ketika saat itu tiba,

Apa lagi yang dapat membantu kecuali Dharma nan agung?

Namun, walaupun Dharma adalah sumber kemenangan.

Sangat langka orang yang berusaha mencapainya.

Banyak manusia yang terjerat di dalam penderitaan-penderitaan Samsara;

Karena terlahir ke dalam kesialan ini,

Mereka berjuang dengan menjarah dan mencuri kekayaan.

Mereka yang berbicara tentang Dharma

Dengan gembira mendapat inspirasi,

Tetapi jika tugas diberikan kepadanya,

Dia akan hancur dan bingung.

Wahai murid-murid yang terkasih, jangan terlalu banyak bicara,

Praktikkanlah saja Dharma nan Agung.


*******


Θ 12 Θ

“Sungguh amat bermanfaat bagi pikiran saya,” kata dokter itu. “Tetapi terangkanlah lagi mengenai kebenaran Karma dan penderitaan kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian, agar keyakinan saya pada Buddhadharma lebih mendalam.” Sebagai jawabannya, Jetsun menyanyi :


Dengarkanlah kata-kata ini,

Wahai sahabat-sahabat terkasih yang berkumpul di sini.

Ketika kau masih muda dan kuat

Tak pernah kau pikirkan datangnya usia tua,

Tetapi ia mendekati dengan perlahan dan pasti

Bagaikan benih yang tumbuh di bawah tanah.

Ketika kau kuat dan sehat

Tak pernah kau pikirkan datangnya penyakit,

Tetapi ia turun tiba-tiba dengan kekuatan penuh

Bagaikan serangan halilintar.

Ketika terlibat dengan hal-hal duniawi

Tak pernah kau pikirkan datangnya kematian.

Cepat ia datang bagaikan geledek

Menghancurkan kepalamu.

Penyakit, usia tua, dan kematian,

Selalu saling bertemu

Seperti halnya tangan dan mulut.

Menunggu mangsa di tempat persembunyiannya,

Yama (8) siap menerkam korban,

Ketika malapetaka menyerangnya.

Burung gereja terbang dalam satu kelompok.

Seperti itu pula, kehidupan, kematian, dan Bardo

Saling mengikuti, tak pernah terpisah darimu

Ketiga ‘pengunjung’ ini,

Bila kau pikirkan hal itu, tidakkah engkau takut

Akan tindakan-tindakanmu yang tak-bajik?

Bagaikan anak panah menunggu di tempat tersembunyi,

Tumimbal-lahir di Neraka sebagai Setan Kelaparan, atau Binatang

Adalah (tujuan)yang menunggu untuk menerkammu.

Begitu engkau masuk ke dalam jerat mereka,

Sulit bagimu untuk menemukan jalan keluarnya.

Tidakkah engkau takut akan kesengsaraan

Yang kau alami di masa lalu?

Kau pasti akan merasakan kesakitan yang menusuk

Jika kesialan menyerangmu.

Kesengsaraan kehidupan muncul satu persatu

Bagaikan gelombang samodra yang tak kenal henti ---

Belum lagi satu gelombang lewat,

Yang lain telah menggantikan tempatnya.

Sampai engkau terbebaskan, rasa sakit

Serta rasa senang datang dan pergi semaunya

Bagaikan orang lewat yang bertemu di jalan.

Kesenangan-kesenangan memiliki bahaya,

Bagaikan mandi di sinar mentari;

Hanya sementara juga, seperti badai salju

Yang datang tanpa peringatan.

Mengingat hal-hal ini,

Mengapa engkau tidak mempraktikkan Dharma?


*******


Θ 13 Θ

Sekembalinya dari India, Rechungpa memiliki penyakit congkak. Dengan berbagai cara, Milarepa mencoba menyembuhkannya. Suatu ketika karena membutuhkan makanan, para murid pergi meminta sedekah makan. Tetapi seorang wanita tua memperlakukan mereka dengan kasar dan menyatakan bahwa dia tidak memiliki makanan. Keesokan harinya, mereka dapatkan bahwa wanita itu telah mati. Milarepa berkata, “Rechungpa, seperti wanita ini, setiap makhluk yang memiliki kesadaran pasti mati. Namun jarang sekali yang memikirkan fakta ini. Akibatnya, mereka kehilangan banyak kesempatan untuk mempraktikkan Dharma. Engkau dan aku harus mengingat kejadian ini dan mengambil hikmah darinya.” Lalu Milarepa menyanyi ---

Lagu tentang Ketidak-kekalan dan Kebodohan Batin

Ketika ketidak-kekalan kehidupan menancap di hati,

Pikiran dan perbuatan orang itu pastilah sesuai Dharma.

Jika kematian berulang-ulang dan senantiasa dia pikirkan,

Dengan mudah dia dapat menaklukkan setan kemalasan.

Tak ada yang tahu kapan kematian akan menjemputnya ---

Sama seperti wanita ini tadi malam!

Rechungpa, jangan keras kepala, dan dengarkan Gurumu!

Lihatlah, semua perwujudan di dunia luar

Bersifat tidak kekal bagaikan impian tadi malam!

Orang benar-benar terhanyut dalam kesedihan

Ketika memikirkan impian yang berlalu ini.

Rechungpa, apakah kau sudah sepenuhnya terjaga

Dari teka-teki besar ini?

O, makin kupikirkan hal ini,

Makin besar semangatku menuju Buddha dan Dharma.

Tubuh manusia yang merindukan kesenangan ini

Adalah kreditor yang tak kenal terima kasih.

Kebaikan apa pun yang kau lakukan terhadapnya,

Tubuh selalu menanam benih-benih kesakitan.

Tubuh manusia ini adalah sekantong kotoran menjijikkan;

Janganlah pernah merasa congkak, Rechungpa,

Dengarkanlah nyanyianku!

Ketika kulihat lagi tubuhku,

Tampak bagaikan kota bayangan;

Walaupun mungkin dapat kupertahankan beberapa saat,

Ia pasti akan punah.

Bila kupikirkan hal ini,

Hatiku dipenuhi kesedihan!

Rechungpa, tak maukah kau memutus Samsara?

O, makin kupikirkan hal ini,

Makin besar semangatku menuju Buddha dan Dharma!

Orang jahat tidak pernah dapat mencapai kebahagiaan.

Pikiran yang tak keruanlah penyebab semua penyesalan,

Watak yang buruk adalah penyebab segala kesengsaraan,

Janganlah pernah menjadi tamak, oh Rechungpa,

Dengarkanlah nyanyianku!

Ketika kulihat lagi pikiranku yang melekat,

Ia tampak seperti burung gereja berumur pendek di hutan ---

Tak berumah, dan tak punya tempat untuk tidur.

Bila kupikirkan hal ini, hatiku dipenuhi kesedihan!

Rechungpa, akankah kau biarkan dirimu bermanja-manja dalam kemauan jahat?

O, makin kupikirkan hal ini,

Makin besar semangatku menuju Buddha dan Dharma!

Kehidupan manusia sama rapuhnya

Seperti sehelai rambut ekor kuda yang tipis

Yang menggantung hampir putus;

Suatu saat ia pasti jatuh

Seperti wanita tua ini tadi malam!

Janganlah melekati kehidupan ini, Rechungpa,

Dengarkanlah nyanyianku!

Ketika kuamati nafasku di dalam

Kulihat betapa sekejapnya ia, bagaikan kabut;

Setiap saat ia bisa saja lenyap menjadi kosong.

Bila kupikirkan hal ini, hatiku dipenuhi kesedihan.

Rechungpa, tidak inginkah kau menaklukkan

Ketiadaan-jaminan itu sekarang?

O, makin kupikirkan hal ini,

Makin besar semangatku menuju Buddha dan Dharma!

Dekat kerabat jahat hanya menyebabkan kebencian.

Kasus wanita tua ini adalah pelajaran yang amat berharga.

Rechungpa, hentikan impian khayalmu,

Dengarkanlah nyanyianku!

Ketika kulihat para sahabat dan pasangan hidup

Mereka tampak bagaikan orang yang lewat di bazar;

Perjumpaan dengan mereka hanyalah sementara,

Namun perpisahan adalah sementara!

Bila kupikirkan hal ini, hatiku dipenuhi kesedihan.

Rechungpa, tidak inginkah engkau menyisihkan

Semua hubungan duniawi?

Makin kupikirkan hal ini,

Makin sering aku memikirkan Buddha dan Dhamma.

Orang kaya jarang menikmati

Kekayaan yang telah diperolehnya;

Inilah olok-olok Karma dan Samsara,

Uang dan batu permata yang diperoleh lewat kekikiran dan kerja keras

Hanyalah seperti wadah makanan wanita tua ini.

Janganlah tamak, Rechungpa.

Dengarkanlah nyanyianku!

Ketika aku melihat keberuntungan orang kaya,

Keberuntungan itu tampak bagaikan madu bagi lebah ---

Kerja keras, melayani kesenangan orang lain semata,

Merupakan buah dari keringat mereka.

Bila kupikirkan hal ini, hatiku dipenuhi kesedihan.

Rechungpa, tidak inginkah kau membuka

Harta karun di dalam pikiranmu?

O, makin kupikirkan hal ini

Makin besar semangatku menuju Buddha dan Ajaran-Nya.


*******


Θ 14 Θ

Ketika Milarepa sedang duduk bermeditasi, lewatlah seekor rusa yang ketakutan karena dikejar binatang pemburu yang kelaparan. Dengan kekuatan cinta kasih dan kasih sayangnya (Metta-Karuna), Milarepa membuat dua binatang itu berbaring di kedua sisinya dan kemudian berkotbah kepada mereka. Kemudian datanglah seorang pemburu yang sombong dan kejam, bernama Chirawa Gwunbo Dorje. Melihat Jetsun, pemburu itu masih marah besar dan membidikkan anak panah pada beliau, tetapi tidak mengenainya. Milarepa menyanyi untuknya, dan hati pemburu itu mulai terbuka pada Dharma. Ketika melihat bahwa Milarepa menjalani kehidupan yang keras, maka keyakinan yang besar pun muncul di dalam diri pemburu itu. Pada saat itu, dia bermaksud mempraktikkan Dharma setelah berbicara dengan keluarganya. Namun Jetsun memperingatkan bahwa pikirannya yang bajik saat ini bisa berubah, dan beliau bernyanyi:


Dengarlah, dengarlah, wahai pemburu,

Walaupun geledek menghantam,

Itu hanyalah suara kosong;

Walaupun pelangi berwarna-warni,

Ia akan segera berlalu.

Kesenangan di dunia bagaikan penglihatan dalam mimpi;

Kalaupun orang menikmatinya, itu adalah sumber ketidak-bajikan.

Walaupun semua yang kita lihat mungkin tampak kekal,

Ia akan segera hancur berkeping-keping dan lenyap.

Kemarin mungkin orang memiliki cukup atau berlebihan,

Hari ini semuanya hilang, tak ada yang tersisa;

Tahun lalu dia hidup, tahun ini dia mati.

Makanan enak berubah menjadi racun,

Dan pasangan yang dicinta berubah menjadi musuh.

Kata-kata kasar dan keluhan harus dibalas

Dengan niat baik dan rasa berterima kasih.

Kelakuanmu tak-bajik hanya akan menyakiti dirimu sendiri.

Di antara seratus kepala, kepalamu yang paling kau hargai.

Dari sepuluh jari, jika satu terpotong, kaulah yang merasakan sakitnya.

Dari semua hal yang kau hargai, dirimulah yang kau hargai paling tinggi.

Telah tiba waktunya kau bantu dirimu sendiri.

Hidup berlalu dengan cepat. Segera kematian akan mengetuk pintumu.

Maka, adalah tolol jika orang ingin menunda bhaktinya.

Apalagi yang bisa dilakukan kerabat yang mencintai kita

Kecuali melempar kita ke dalam Samsara?

Meraih kebahagiaan untuk masa mendatang

Lebih penting daripada mencarinya sekarang.

Telah tiba waktunya bagimu untuk mencari seorang Guru,

Telah tiba waktunya kaupraktikkan Dharma.


*******


Θ 15 Θ

Milarepa: “Jika orang benar-benar bertekad untuk membebaskan diri dari penderitaan Samsara, seperti misalnya kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, dll, dia akan memiliki kedamaian pikiran setiap saat dan tidak akan perlu mengerahkan usaha apa pun. Kalau tidak, dia harus ingat bahwa penderitaan di dalam kehidupan yang akan datang bisa berlangsung jauh lebih lama dan bertahan jauh lebih lama dibandingkan penderitaan di dalam kehidupan ini. Bebannya pun bisa jauh lebih berat. Karena itu, penting sekali mengambil langkah untuk bersiap-siap menghadapi kehidupan-kehidupan yang akan datang.” Demikian dikatakan beliau kepada beberapa orang muda dari negara asalnya, yang bertanya bagaimana mereka dapat melepaskan diri dari urusan-urusan duniawi. Kemudian Milarepa berkata: “Dengarkanlah, akan kunyanyikan sebuah nyanyian untukmu.”

Di dunia ini, kita makhluk yang memiliki kesadaran

Terapung-apung menuruni arus yang mengalir

Dari Empat Penderitaan.

Dibandingkan dengan itu, betapa jauh lebih beratnya

Kehidupan tanpa-henti di masa depan dalam Samsara.

Jadi mengapa tak kausiapkan perahu ‘tuk “menyeberang”?

Keadaan berbagai kehidupan kita di masa depan

Jauh lebih mengerikan

Dan lebih pantas diperhatikan

Dibandingkan raksasa, setan, dan Yama yang menakutkan.

Jadi mengapa tak kausiapkan pemandu bagi diri sendiri?

Bahkan nafsu-nafsu yang mengerikan ---nafsu keinginan,kebencian dan kebutaan---

Tidaklah menakutkan bila dibandingkan

Keadaan masa depan kita (yang tidak diketahui),

Jadi, mengapa tak kausiapkan penawar bagi diri sendiri?

Sungguh besar Kerajaan Tiga Alam Samsara,

Namun jauh lebih besar adalah jalan kelahiran dan kematian yang tak berujung,

Jadi, mengapa tak kau siapkan bekal bagi dirimu?

Akan lebih baik jika kau praktikkan Dharma

Jika tak kau miliki kepastian pada dirimu sendiri.


*******


Milarepa mengatakan: “Tubuh manusia, yang bebas dan pantas, amat berharga seperti batu permata. Memiliki kesempatan untuk mempraktikkan Dharma adalah amat langka. Juga, menemukan seorang Buddhis yang serius di antara seratus orang adalah sangat sulit! Mengingat sulitnya mencari guru yang tepat serta kondisi-kondisi pendukung lain yang diperlukan untuk mempraktikkan Ajaran Buddha, engkau harus menganggap dirimu sangat beruntung karena sekarang telah kau temukan semua persyaratan ini. Oleh sebab itu, janganlah menyia-nyiakannya. Berpraktiklah.”

===================================================================

Dikutip dari buku : 15 Nyanyian Milarepa, terbitan Wisma Sambodhi, Klaten

Diketik ulang oleh Indah Tan