Kamis, 05 Agustus 2010

Pujian Yang Mengabulkan Harapan Kepada Arya Tara



Arya-tara-sottra-pranidhana-siddhi-nama

Pujian Yang Mengabulkan Harapan Kepada Arya Tara


Om namo bhagavati Arya Taraye!


Terlahir dari bunga utpala serta bijaksara hijau
Bertubuh hijau, berwajah satu dan bertangan dua
Tubuh serta tangannya berhiaskan dengan berbagai permata
Kepadamu, Istadevata Tara, aku bersujud dan memuji. (1)

Kelima Jina, seperti Amoghasiddhi, menghiasi mahkotamu
Berusia enam belas tahun, engkau dengan wajah tersenyum
Kau pancarkan cahayamu menaklukkan bala tentara musuh
Kepadamu, Istadevata Tara, aku bersujud dan memuji. (2)

Tangan kananmu memberi perlindungan, tangan kirimu memegang setangkai bunga utpala
Diatas bunga teratai beraneka warna dan bantal matahari

Engkau duduk dengan kaki kanan tegak dan kaki kiri bersila
Kepadamu, Istadevata Tara, aku bersujud dan memuji. (3)

Engkau senantiasa memandang semua makhluk dengan belas kasih
Tubuhmu mengeluarkan penjelmaan Tara yang menyelamatkan dari delapan mara bahaya
Menyelamatkan dari segala derita samsara
Kepadamu, Istadevata Tara, aku bersujud dan memuji. (4)

Menimbulkan kedamaian, peningkatan serta penaklukan
Puja penghancuran serta segala puja yang mengabulkan tujuan
Engkau dengan tangkas membawa samudra kegiatan Buddha
Kepadamu, Istadevata Tara, aku bersujud dan memuji. (5)

Menyelamatkan dengan sempurna dari kedelapan mara bahaya
Singa, gajah, api, ular serta perampok
Belenggu, samudra serta pisaca
Kepadamu, Istadevata Tara, aku bersujud dan memuji. (6)

Engkau hentikan dengan sempurna setiap derita
Penyakit oleh makhluk halus, penyakit karena wabah, serta penyakit gila
Yaksha serta penyebab kematian sebelum saatnya
Kepadamu, Istadevata Tara, aku bersujud dan memuji. (7)

Karma yang terkumpul dari hidup yang lampau dan noda
Perbuatan jahat tak tertanggungkan apapun yang telah kulakukan
Seperti kelima serta kesepuluh perbuatan tidak baik
Mohon murnikan kesemuanya tanpa sisa! (8)

Dalam hidupku yang sekarang
Mohon agar mimpi buruk, tanda kemalangan, kematian sebelum saatnya
Musuh serta segala ketidakberuntungan dapat dihapuskan
Sehingga dalam hidup ini, kebajikan serta kebahagiaan dapat berkembang. (9)

Dalam seluruh kelahiran yang akan datang, semoga
Aku mengingat Istadevataku, Tara
Mencapai segala lokiyasiddhi serta lokuttarasiddhi
Dan segala harapanku, terkabulkan serta dapat menjalankan dan memperagakan seluruh kegiatan istadevata. (10)


Melalui kebajikan yang terkumpul dari pujian ini
Dengan daya upaya yang bersungguh-sungguh serta harapan pikiran
Tara, Istadevata belas kasih,
Semoga diriku, Oh Tara yang terpuji, tak terpisahkan darimu.(11)



Diterjemahkan oleh Romo Sumatijnana

Arya Tara Devi Stotra Muktika Mala Nama




PENJELASAN ROMO SUMATIJNANA ATAS TEKS PUJIAN KEPADA DEWI TARA

YANG DISUSUN OLEH ACHARYA PANDITA CHANDRAGOMI


“ARYA TARA DEVI STOTRA MUKTIKA MALA NAMA”

(Untaian Mutiara Pujian Kepada Arya Tara Dewi)



Minggu, 7 September 2003


Sekarang kita akan mempelajari teks lain lagi dari Guru Chandragomi mengenai pujian-pujian yang beliau lakukan kepada Dewi Tara, yaitu teks yang tadi dibagikan. Jadi seperti yang telah saya ceritakan minggu lalu bahwa Guru Chandragomi sebetulnya merupakan seorang praktisi atau penyembah Dewi Tara sejak berkali-kali kelahirannya, dan beliau juga telah berkali-kali berinkarnasi sebagai seorang pandita, seorang penyebar Dharma Sang Buddha, sehingga pujian-pujian yang beliau lakukan merupakan penuntun bagi mereka yang menginginkan blessing dari Dewi Tara. Para praktisi yang muncul setelah Guru Chandragomi seperti Lama Serlingpa, Guru Atisha, juga melafalkan pujian-pujian ini dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Sansekerta, untuk memuji Dewi Tara. Dikatakan dalam tradisi para Guru bahwa sebuah teks apakah teks berisi ajaran atau teks yang berisi doa-doa, bila teks itu ditulis oleh seorang Guru yang telah mencapai realisasi (seperti Guru Chandragomi); teks tersebut memiliki dua sisi blessing yaitu yang pertama blessing yang berasal dari arus kesadaran sang Guru yang menulisnya, lalu yang kedua blessing yang berasal dari objek yang menjadi tujuan dari doa-doa atau pujian (yaitu Dewi Tara). Guru Chandragomi dalam syair-syairnya telah memberikan blessingnya kepada mereka yang mengucapkannya, lalu Dewi Tara juga menjadi berkenan dengan pujian-pujian ini dengan demikian memberikan blessing kepada orang yang mengucapkannya. Jadi sebetulnya teks-teks Guru Chandragomi yang merupakan pujian kepada Dewi Tara telah digunakan sebagai sarana untuk memuji Dewi Tara maupun mendapatkan blessing dari Guru Chandragomi sendiri selama berabad-abad sehingga para Mahaguru yang muncul setelah Guru Chandragomi pun juga menggunakan teks yang beliau tulis; seperti Lama Serlingpa dan Guru Atisha; dan bahkan atas kecintaan beliau terhadap teks ini, Guru Atisha menyalin sendiri teks yang beliau bawa dari India yang selalu beliau baca (yaitu teks yang ditulis oleh Guru Chandragomi ini) ke dalam bahasa Tibet dan memberikannya kepada para siswanya sebagai alat untuk mendapatkan blessing baik dari Guru Chandragomi maupun dari Dewi Tara. Oleh karena itu kita juga menggunakan teks ini untuk mendapatkan hal yang sama, pada saat-saat tertentu atau pada waktu-waktu tertentu yang kita miliki.


Sekarang mengenai judulnya, teks ini diberi judul oleh Guru Chandragomi: Arya Tara Devi Stotra Muktika Mala Nama. Arya Tara Devi kita sudah tahu. Strotra artinya pujian atau puji-pujian. Muktika artinya mutiara (bahasa Sanskrit dari mutiara adalah muktika). Mala adalah untaian. Nama adalah nama. Jadi Guru Chandragomi memberikan nama teks ini: Untaian Mutiara Pujian Kepada Dewi Tara; atau di sini diterjemahkan Rangkaian Mutiara atau Untaian Mutiara, Stotra Kepada Arya Tara Dewi. Mengapa dinamakan mutiara, dan mengapa dinamakan untaian? Disebut untaian karena terdiri dari banyak slokha, yaitu baris-baris syair Sanskrit tradisional yang terdiri dari empat baris puji-pujian yang aslinya merupakan sastra yang sangat tinggi; kemudian disebut mutiara karena sangat berharga. Pada zaman dulu ketika mutira didapatkan hanya dari lautan dan berada di kedalaman yang sulit untuk didapatkan, maka mutiara pada zaman dulu mengalahkan permata lain yang ada di gunung. Jadi pada masyarakat di zaman itu, mutiara dianggap lebih berharga dari batu yang didapatkan di atas permukaan tanah; sehingga oleh karena asumsi naskah ini sangat berharga, memperindah mereka yang mengucapkannya dan membuatnya menjadi sangat berharga, maka Guru Chandragomi memberikan nama sebagai mutiara.


Lalu Guru Chandragomi juga mengucapkan perlindungannya kepada Dewi Tara dengan menulis “Om Namo Arya Taraye”. Om Namo Arya Taraye sebetulnya juga berfungsi ganda yaitu sebagai bentuk penghormatan kepada Dewi Tara dan juga merupakan mantra Dewi Tara. Para Guru Tibetan sekarang menganjurkan bahwa mantra Dewi Tara ada dharani (panjang); kemudian ada mantra sepuluh suku kata; lalu bilamana seseorang juga tidak dapat mengucapkan hal itu maka bisa juga bagian dari sepuluh suku kata itu apakah OM TARE, TURE, TUTTARE, yang masing-masing juga dapat mendatangkan perhatian dari Dewi Tara. Jadi bila seseorang mengucapkan Om Namo Arya Taraye, artinya pada saat itu seseorang menyatakan berlindung kepada Dewi Tara, atau juga berarti seseorang sedang melafalkan atau mengingat Dewi Tara dalam aspek manifestasi kegiatan yang beliau wakili. Jadi Guru Chandragomi menyatakan perlindungannya kepada Dewi Tara dengan menyebutkan Om Namo Arya Taraye.


Seperti yang kita ketahui bahwa Dewi Tara sendiri namanya bukan “Tara”. Dewi Tara pada saat membangkitkan bodhicitta dan merintis jalan sebagai seorang Mahayanis yang bertujuan mencapai Kebuddhaan dengan pranidhana atau janji bahwa Kebuddhaan yang akan dicapai adalah dengan tubuh seorang wanita, beliau bernama Putri Prajnachandra. Jadi Putri Prajnachandra atau Kebijaksanaan Bulan adalah nama asli dari Dewi Tara; tetapi Sang Buddha pada waktu itu yaitu Buddha Dubhisvara menyatakan kepada Dewi Tara, “Karena kegiatanmu nanti sebagai seorang Buddha yang menolong makhluk samsara membebaskan dari penderitaan mereka, untuk selanjutnya Engkau akan dikenal dengan nama “Tara” yang dalam bahasa Sanskrit artinya pembebas atau penolong; sehingga pada waktunya Dewi Tara lebih dikenal dalam predikatnya dibandingkan nama beliau pada waktu membangkitkan bodhicitta. Ini juga terjadi pada para Bodhisattva yang lain seperti Arya Avalokiteshvara. Arya Avalokiteshvara disebut dalam banyak nama; pada waktu beliau membangkitkan bodhicitta awal (pada waktu beliau menjadi seorang bhiksu) namanya adalah Bhiksu Prabhasudhi; tetapi karena telah mencapai berbagai realisasi dan kemudian bermanifestasi dalam berbagai aspeknya, Arya Avalokiteshvara yang memegang bunga teratai merah disebut Padmapani; lalu manifestasi yang lain juga disebut berdasarkan wujud manifestasi serta kegiatannya. Lalu Arya Vajrapani juga demikian, disebut Vajrapani karena memegang vajra. Bodhisattva yang menyempurnakan berbagai kegiatan Kebodhisattvaannya disebut sebagai Arya Samantabhadra. Demikian juga dengan Arya Tara yang dipuji oleh Guru Chandragomi dengan mengucapkan kata “Om Namo Arya Taraye”.


Sekarang slokha yang pertama, Guru Chandragomi menulis:


Aku bersujud dengan kepalaku pada kaki

Pelindung yang memberiku kebenaran (tattva)

Untuk menghapuskan kegelapan, klesha dan noda

Saya akan memberikan pujian kepada Dewi tertinggi. (1)


Guru Chandragomi pertama-tama membuat satu slokha yang umumnya disebut sebagai Vandana atau penghormatan. Guru Chandragomi di sini menyebutkan satu kalimat yang menyatakan bahwa Dewi Tara memberikan kepada beliau kebenaran (tattva). Kebenaran yang dimaksudkan oleh Guru Chandragomi yang diterimanya dari Dewi Tara sebagai tattva ada dua kemungkinan. Yang pertama, bahwa keyakinan kepada Dewi Tara dan pengharapan untuk dapat bertemu, mendapat siddhi dan blessing, yang biasanya diimpikan oleh seorang praktisi dan selama seorang praktisi belum melihat kenyataan dari harapannya itu seolah-olah seorang praktisi berada di dalam ketidaknyataan; dengan kata lain bahwa banyak orang berdoa kepada Dewi Tara, melakukan pelafalan dan ibadah kepada Dewi Tara dalam berbagai rupa, misalnya pada zaman dulu orang yang berziarah ke Candi Kalasan dari tempat-tempat yang jauh–ada yang menaiki kapal, ada yang berjalan kaki, ada yang mengusung offering selama bertahun-tahun atau berbulan-bulan–apa yang menggerakkannya pada awal mulanya adalah sraddha, tetapi keyakinan yang dimiliki itu belum merupakan sebuah kebenaran karena keyakinan seperti ini masih sesuatu yang bersifat subjektif dari seorang praktisi, di mana seorang praktisi berpikir berdasarkan ajaran Gurunya juga ajaran teks-teks yang dipelajarinya bahwa Dewi Tara menerima semua ibadah yang dilakukan. Jadi mereka berjalan berbulan-bulan, bertahun-tahun, melakukan pradaksina berkali-kali, beribu-ribu kali, melakukan berbagai offering, hingga seseorang melihat bahwa Dewi Tara itu ada, bahwa Dewi Tara tampak di penglihatannya atau dirasakan keberadaannya menurut indranya (pendengaran, penglihatan, perasaan) maka pada waktu itu seorang praktisi (penyembah Dewi Tara) mengalami apa yang disebut sebagai kebenaran tentang keberadaan Dewi Tara. Guru Chandragomi di sini mengatakan “Aku bersujud dengan kepalaku pada kaki Pelindung yang memberiku kebenaran", dalam hal ini yang dimaksudkan Guru Chandragomi adalah kebenaran bahwa keyakinan saya selama ini kepada Dewi Tara terbukti nyata adanya. Jadi Guru Chandragomi melalui Guru-gurunya memperoleh abhiseka, memperoleh anjuran untuk melafal, memperoleh anjuran untuk beribadah, dan setelah dijalankan selama kurun waktu tertentu, pada akhirnya Dewi Tara menunjukkan kebenaran ibadah itu kepada objek yang betul-betul merupakan objek yang benar (exist) yang menerima dan melihat semua kegiatan yang dilakukan kepadanya. Ini salah satu interpretasi dari kalimat “kebenaran atau tattva” yang dinyatakan oleh Guru Chandragomi.


Hal yang lain, dikatakan bahwa Guru Chandragomi kemungkinan besar mencapai realisasi Kebodhisattvaannya atas blessing dari Dewi Tara (siddhi dari Dewi Tara). Kita sering mendengar bahwa seorang praktisi (seorang siswa) untuk mendapatkan siddhi, mendekatkan diri kepada yidamnya; sedangkan untuk mendapatkan pencerahan, mendekatkan diri kepada Guru. Guru Chandragomi menambahkan bahwa tattva atau kebenaran yang diberikan oleh Dewi Tara itu menghapuskan kegelapan, klesha dan noda. Jadi setelah mendapat tattva dari Dewi Tara maka kegelapan dari Guru Chandragomi terhapus. Kegelapan di sini adalah moha atau avidya (kebodohan dan kegelapan batin) menjadi terhapus ketika menerima tattva dari Dewi Tara; kemudian klesha dan noda juga menjadi terhapus. Dalam baris yang ketiga ini, yang dimaksudkan dengan tattva oleh Guru Chandragomi adalah blessing dari Dewi Tara. Bila seorang praktisi mendapat blessing dari yidamnya (bila seorang penyembah Dewi Tara mendapat blessing dari Dewi Tara) berupa siddhi, maka pada waktu itu seorang praktisi akan mendapatkan apa yang disebut sebagai pandangan kebenaran terhadap segala sesuatu yang ada di samsara. Ia dapat melihat masa lalu, ia dapat melihat masa yang akan datang, ia bisa melihat semua kehendak mahkluk hidup yang ada di sekelilingnya. Kemudian, karena blessing itu juga merupakan realisasi dari Dewi Tara sendiri, yaitu sesuai dengan ajaran Tantra pada saat seseorang melafal mantra dari seorang yidam (sejauh itu dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan keyakinan yang kuat), maka yang mengalir dalam dirinya (yang melebur seperti sungai yang menuju ke laut dalam dirinya) tiada lain adalah semua realisasi dari yidamnya. Bila yidamnya adalah seorang Buddha, maka seorang Buddha memiliki berbagai realisasi seperti Dharmakaya, Sambhogakaya, Nirmanakaya, juga berbagai tingkat samadhi dan berbagai tingkat prajna; mengalir dalam arus kesadaran seorang praktisi, terus mengalir dalam dirinya, dan itu menyebabkannya terbebas dari kegelapan batin; antara kebijaksanaannya dan kebijaksanaan yidamnya menjadi tidak berbeda. Dengan meresapnya blessing seperti itu, maka pikiran-pikiran yang muncul dari ketidaktahuan yang disebut sebagai klesha seperti kegemaran akan hal-hal yang tidak menguntungkan, kemudian hal-hal yang berdasarkan emosi, keterikatan, kebencian dan pandangan salah, dengan sendirinya berhenti. Dan pada waktu itu, maka tidak ada lagi klesha; yang ada adalah pikiran yang jernih yang dalam bahasa Sanskrit disebut sebagai Spatikacitta atau kesadaran yang menyerupai kristal karena telah melihat segala sesuatu sebagaimana adanya.


Lalu noda yang dimaksudkan di sini adalah noda yang ditinggalkan oleh jejak karma (khususnya karma buruk) yang diakumulasikan dalam berbagai kehidupan sebelumnya. Pada minggu yang lalu kita membaca slokha dari Guru Chandragomi yang memandang Dewi Tara juga sebagai yidam yang kegiatannya purifikasi seperti Buddha Vajrasattva atau 35 Buddha. Oleh karena kegiatan Dewi Tara juga merupakan kegiatan purifikasi bagi mereka yang mengalami berbagai kesalahan (karma-karma buruk) maka dengan menerima blessing dari Dewi Tara, seseorang kemudian juga terbebas atau dipurifikasi atau dimurnikan dari berbagai jejak karma buruk di masa lalunya.


Jadi pada slokha pertama ini ada dua hal yang diceritakan oleh Guru Chandragomi; bahwa beliau menerima blessing pencerahannya dari Dewi Tara, beliau melihat realitas antara keyakinan seorang penyembah dengan kenyataan keberadaan dari yidam yang disembahnya; karena Guru Chandragomi dapat bertatap muka atau berhadap-hadapan dengan Dewi Tara seperti seorang anak kepada ibunya atau seorang siswa kepada gurunya, lalu Guru Chandragomi merasakan juga bahwa segala kegelapan batinnya terhapus ketika menerima blessing dari Dewi Tara, kleshanya juga pupus, kemudian jejak karma-karma buruknya juga berakhir. Dan akhirnya, atas blessing dari Dewi Tara, Guru Chandragomi memahami semua isi Prajnaparamita, Guru Chandragomi lalu dapat pergi ke Surga Potala dengan membawa tubuh fisiknya, karena bukan hanya jejak karma buruk di dalam arus kesadarannya yang dipurifikasi namun tubuhnya pun lalu mengalami transformasi (purifikasi) sehingga tubuh fisiknya yang kasatmata sekaligus juga menjadi tubuh Sambhogakaya. Tubuh fisik seorang manusia pada umumnya mengalami kelapukan menjadi subjek dari anicca, tetapi tubuh fisik dari seorang penyembah yang telah mendapat blessing dari yidamnya sekaligus menjadi tubuh Sambhogakaya yang dapat dibawa ke alam surga di mana yidamnya bersemayam. Para penyembah Dewi Tara mendapat blessing dari Dewi Tara dengan cara yang sama seperti Guru Chandragomi, seperti yang pernah saya ceritakan yaitu Guru Atisha, Guru Vagishvarakirti, kemudian masih banyak lagi Guru-guru lain, yang ketika melihat penglihatan Dewi Tara setelah ibadahnya di masa lalu atau dalam hidup yang sekarang, beliau-beliau mengalami pencerahan batin atau yang disebut sebagai “terhapusnya kegelapan, klesha dan noda” sehingga mencapai berbagai realisasi jalan menuju pembebasan.


Lalu slokha yang kedua:


Tubuhmu terlahir dari bija aksara TAM

Dengan cahaya yang menyerupai seratus ribu matahari

Berdasarkan belas kasih, engkau mengeringkan lautan samsara

Mengosongkan penderitaannya – aku bersujud. (2)


Tentang beliau lahir dari bija aksara TAM, ini adalah pengulangan dari slokha yang sudah kita pelajari minggu lalu. Lalu tentang cahaya yang menyerupai seratus ribu matahari, ini hanya dialami atau terjadi pada seorang praktisi yang melakukan meditasi Dewi Tara (mempraktikkan meditasi Tantra). Dalam banyak sastra suci para Guru dikatakan bahwa tubuh para Buddha, tubuh para Bodhisattva memancarkan cahaya yang tidak menyilaukan. Jadi cahayanya berbeda dengan cahaya matahari atau cahaya penerang lain yang pada umumnya menyilaukan mata, tetapi cahaya dari para Buddha Bodhisattva itu menyejukkan, menenangkan dan membahagiakan; namun demikian pancaran cahaya itu lebih tajam, lebih jauh dan lebih luas; dalam hal ini cahaya yang dipancarkan oleh Dewi Tara dilihat oleh Guru Chandragomi bagaikan 100.000 matahari. Ini sesuatu yang sangat sulit untuk dimengerti karena kita hanya melihat satu matahari, Guru Chandragomi menyatakan bahwa cahaya yang terpancar dari tubuh Dewi Tara bagaikan 100.000 matahari. Di banyak arca-arca di candi-candi di zaman dulu (arca-arca yang berasal dari masa-masa abad ke-8 atau ke-10) digambarkan bahwa setiap Buddha-Bodhisattva memiliki cahaya yang mengelilingi tubuhnya yang dalam bahasa Sanskrit disebut sebagai prabha. Prabha adalah cahaya yang memancar atau keluar dari tubuh seorang Buddha atau Bodhisattva (seorang yidam) dan cahaya seperti itu tidak tampak oleh mata orang yang masih diliputi oleh lobha, dosa, klesha dan akusalakarma (karma-karma yang buruk) tetapi hanya dapat dilihat oleh mereka yang telah melakukan ibadah intensif dan mencapai realisasi penglihatan. Minggu yang lalu sudah saya ceritakan bahwa dalam setiap butir cahaya itu, menurut para Guru, terdapat duplikat Dewi Tara. Jadi setiap butir cahaya yang memancar dari tubuh Dewi Tara terdapat duplikat Dewi Tara, yang pada waktunya cahaya itu membentur makluk samsara tertentu dan bila makhluk samsara itu kemudian melakukan kegiatan fisik maka dia akan mengalami pertolongan bebas dari penderitaan atau pergi ke dalam kebahagiaan yang kekal abadi. Jadi kegiatan dari cahaya itu ada dua macam yaitu membebaskan dari penderitaan dan menempatkan ke dalam kebahagiaan. Oleh karena cahaya yang dilihat oleh Guru Chandragomi itu bagaikan 100.000 matahari maka cahaya yang begitu kuat tersebut lalu menjangkau hampir semua alam samsara: alam manusia, alam para dewa, alam binatang, alam preta, alam neraka, semuanya terjangkau oleh cahaya tersebut; dan mengingat kegiatan setiap butir cahaya adalah membebaskan dari penderitaan dan menempatkan dalam kebahagiaan, di mata Guru Chandragomi seperti yang beliau katakan “Engkau (Dewi Tara) mengeringkan lautan samsara, mengosongkan penderitaannya”. Akan tetapi karena makhluk samsara tidak dapat dihitung di mana Sang Buddha mengatakan “Banyaknya bagaikan butir pasir di Sungai Gangga” berapa pun setiap hari dibebaskan dari derita, berapa pun setiap hari dibebaskan dari samsara, maka setiap hari pula jumlah makhluk samsara seolah-olah tidak mengalami pengurangan, oleh karenanya sampai sekarang kita melihat makhluk samsara masih banyak sekali, di antaranya kita juga masih berada di sini.


Slokha yang ketiga:


Engkau membakar semua akibat karma

Di atas tungku kebijaksanaan

Dan membuat kami mencapai siddhi tertinggi

Pembersih klesha dari keenam macamnya – aku bersujud. (3)


Yang ketiga ini Guru Chandragomi mengungkapkan kegiatan Dewi Tara sebagai pemurni karma-karma buruk, dan karma-karma buruk menjadi terhapus dari diri penyembahnya di atas tungku kebijaksanaan Dewi Tara. Kita ingat bahwa salah satu aspek purifikasi, bahwa karma buruk dapat dimurnikan adalah dengan melafalkan sutra-sutra yang berisi kebijaksanaan. Bila seseorang melafalkan sutra-sutra yang berisi kebijaksanaan apakah Prajnaparamita-hridhaya-sutra, apakah Vajradedika-prajnaparamita atau Prajnaparamita yang lebih panjang, itu juga merupakan kegiatan purifikasi. Jadi melafal yang dimaksudkan adalah seseorang mengingat sutra kemudian melafalkannya dan melewatkannya ke dalam arus kesadarannya, pada waktu yang bersamaan karma-karma buruk yang tertimbun di dalam arus kesadarannya kemudian mengalami proses purifikasi. Tetapi bagi seorang praktisi Dewi Tara, Dewi Tara sendiri adalah wujud dari kebijaksanaan. Jadi bila pada tahap melatih diri dan memahami sunyata seseorang masih memiliki jarak antara dirinya dengan sunyata, antara dirinya dengan prajna; tetapi pada waktu seorang praktisi telah menjadi seorang Buddha maka prajna adalah dirinya, dirinya adalah prajna. Oleh karena itu Dewi Prajnaparamita disebut sebagai ibu dari semua Buddha karena Dewi Prajnaparamita adalah Prajnaparamita dan mengingat semua Buddha-Bodhisattva menjadi Buddha dan Bodhisattva karena realisasinya terhadap Prajnaparamita, maka Dewi Prajnaparamita dikatakan sebagai ibu dari semua Buddha. Bila Dewi Tara sendiri merupakan wujud dari kebijaksanaan dan para penyembahnya memiliki noda-noda karma masa lalu yang buruk, kedatangannya ke hadapan Dewi Tara atau pelafalannya terhadap Dewi Tara seolah-olah menaruh karma-karma buruk di masa lalu itu di atas tungku pembakaran, yaitu tungku pembakaran kebijaksanaan Dewi Tara. Dan setelah karma-karma buruk masa lalu dimurnikan di atas tungku pembakaran kebijaksanaan Dewi Tara, lalu Guru Chandragomi di sini menulis “Membuat kami mencapai siddhi tertinggi”. Jadi setelah purifikasi terjadi, setelah ibadah dijalankan, maka seorang penyembah lalu mencapai siddhi tertinggi, mendapat berbagai realisasi dari ibadah Tantranya. Ini juga dapat dibaca dalam cerita-cerita para Guru yang menjadi penyembah Guru Chandragomi, seperti cerita mengenai Guru Lokapradapa, kemudian cerita mengenai para Acharya, mengenai Guru Vagishvarakirti, dan sebagainya; bahwa tercapainya siddhi adalah setelah menjalani ibadah yang mungkin lama mungkin singkat tergantung dari perjalanan reinkarnasi masa lalunya. Bagi seorang praktisi yang dulu memang telah merintis jalan dalam ibadahnya kepada Dewi Tara, mungkin dia tidak akan membutuhkan banyak waktu untuk mendapatkan blessing (mencapai siddhi) dari Dewi Tara, tetapi bagi mereka yang baru sekarang atau belum memiliki perjalanan panjang dalam beribadah kepada Dewi Tara maka akan membutuhkan waktu yang lebih lama. Seperti Guru Atisha misalnya, beliau sejak lahir dan dalam usia yang sangat muda sudah mengalami penampakan-penampakan dari Dewi Tara, mendengar ucapan Dewi Tara, mendapat blessing dari Dewi Tara berupa taburan bunga dan sebagainya, karena Guru Atisha telah menjadi penyembah Dewi Tara selama 500 kali kelahirannya. Sementara Guru Vagishvararakirti, setelah frustasi dengan hidupnya di mana beliau terjangkit penyakit lepra yang parah, bersama dengan serombongan para brahmana yang lain (sebelumnya beliau bukan seorang Buddhis tetapi seorang Hindu berkasta Brahmana) karena telah mengunjungi berbagai orang suci dan berbagai tempat suci untuk meminta blessing penyembuhan tetapi sama sekali tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, lalu Guru Vagishvarakirti menuju ke tempat yang menjadi tempat suci Dewi Tara (semacam candi) dan berdiam di situ dengan kegiatan setiap hari berdoa menurut cara para penyembah Dewi Tara: melakukan persembahan, melakukan namaskara, melakukan pradaksina selama 12 tahun. Pada waktu Dewi Tara telah memberkatinya, ia bukan saja sembuh dari penyakit lepranya tetapi kemdian menjadi seorang Arya dan lalu menjadi seorang Bodhisattva yang membawa makhluk lain juga ke jalan menuju pembebasan abadi. Mengenai siddhi ini tergantung koneksi atau perjalanan inkarnasi seseorang dalam beribadah kepada Dewi Tara. Lalu pada baris keempat ini Guru Chandragomi memuji Dewi Tara dengan menulis “Pembersih klesha dari keenam macamnya – aku bersujud”. Beliau memberi kesimpulan bahwa Dewi Tara sebetulnya telah melakukan pembersihan atau memurnikan klesha-klesha dalam semua aspeknya dalam diri Guru Chandragomi.


Sekarang slokha yang keempat:


Dengan tubuh gaib seperti angkasa, yang abadi

Engkau menyeberangi lautan luas samsara dengan belas kasih

Dan membawa semua makhluk ke seberang kebebasan

Kapten yang agung – aku bersujud. (4)


Ini adalah pujian pada setiap Bodhisattva. Guru Chandragomi memuji Dewi Tara dalam kualifikasinya sebagai seorang Bodhisattva. “Dengan tubuh gaib seperti angkasa” artinya yang meliputi segala sesuatu. “Yang abadi” karena tidak terikat oleh waktu, beliau sudah ada bermilyar-milyar tahun yang lalu, sekarang dan yang akan datang, sampai samsara dapat dikosongkan. “Engkau menyeberangi lautan luas samsara dengan belas kasih”, semua Bodhisattva semua Buddha melewati jalan Mahayana, pintu utama dari jalan Mahayana adalah maitri dan karuna, maitri dan karuna adalah belas kasih murni tanpa pamrih kepada semua makhluk. Yang menyebabkan Dewi Tara mencapai pembebasan samsara adalah karena belas kasihnya yang besar kepada semua makhluk, yang menyebabkan beliau menjadi Sang Pembebas (Sang Penolong) adalah belas kasihnya kepada semua makhluk. Lalu setelah bebas dari samsara, beliau kemudian membawa serta semua makhluk ke seberang samsara (kebebasan), Guru Chandragomi memberikan predikat kepada beliau “Bagaikan seorang kapten yang mahir”, artinya: kapten adalah pemandu perahu, yang mengarahkan perahu menuju ke pantai seberang. Dewi Tara dipredikatkan sebagai seorang kapten yang agung, yang telah mengarungi samudra luas samsara dengan menggunakan kayuh, sampan atau perahu belas kasih (maitri dan karuna), mengusung semua makhluk di atas perahunya.


Kemudian slokha yang kelima:


Hanya dengan memohon pada gambarmu

Delapan siddhi utama diperoleh

Memberikan siddhi kepada siapa pun yang menginginkan

Sumber dari apa pun yang kuperlukan – aku bersujud. (5)


“Hanya dengan memohon pada gambarmu” artinya berdoa di hadapan lukisan Dewi Tara (apakah lukisan poster, apakah lukisan di dinding bangunan suci, lukisan yang dipahat di atas batu atau lukisan yang berasal dari cat atau lukisan kain Tibetan atau tangka), “Delapan siddhi utama diperoleh”. Jadi Dewi Tara dapat diundang atau dihadirkan kegiatannya melalui media lukisan apa pun; apakah seseorang duduk seperti Guru Vagishvarakirti di tempat sucinya, apakah seperti Guru Chandragomi yang membawa gambarnya, apakah seperti Guru Atisha yang hanya mengingat dari kelahiran masa lalunya, dan sebagainya; kesemuanya dapat menyebabkan tercapainya kedelapan macam siddhi utama, yang utamanya yaitu tercapainya tingkat Arya (menjadi seorang Arya). “Memberikan siddhi kepada siapa pun yang menginginkannya, sumber dari apa pun yang kuperlukan – aku bersujud”. Dewi Tara, seperti yang diceritakan oleh para Guru, adalah salah satu dari yidam di mana untuk berdoa, untuk melakukan offering, untuk melakukan ibadah dan memohon pertolongannya, seorang makhluk (manusia) tidak harus menjadi Buddhis, tidak harus seorang Mahayanis, tidak harus telah menerima abhiseka, karena itu telah terjadi di masa lalu, seperti dalam cerita mengenai Dharmacakra yang dibuat oleh Guru Buddha Srijnana: Pada abad ke-8 ada seorang Mahaguru Tantrik yang bernama Guru Buddha Srijnana, beliau mendirikan sebuah bangunan berupa Dharmacakra (roda Dharma) yang besar sekali yang terbuat dari perak, beliau juga mendirikan arca Buddha Heruka yang sangat besar juga dari perak; lalu para bhiksu penganut Theravada yang berasal dari Srilangka menghancurkan bangunan Dharmacakra dan arca Buddha Heruka tersebut (seperti sekarang masih kita ketahui bahwa para penganut Buddhis Hinayana atau Theravada hanya menganggap kebenaran ada di dalam Tripitakanya, sementara yang ada di dalam Tripitaka Mahayana dan di dalam teks-teks Tantra mereka tidak menganggapnya sebagai ajaran Sang Buddha). Karena kejadian besar itu, Raja Dharmaphala yang sangat menghormati Guru Buddha Srijnana menjatuhkan hukuman mati kepada para bhiksu yang telah menghancurkan kedua bangunan suci itu. Kemudian prajurit mengejar mereka dan para bhiksu tersebut berlari ketakutan mencari perlindungan. Karena mereka tidak dapat menemukan perlindungan akhirnya mereka yang memiliki sraddha yang kuat bahwa perlindungan hanya bisa didapatkan dari Dewi Tara; mereka berlari menuju tempat arca Dewi Tara, lalu berdoa minta pertolongan kepada arca Dewi Tara. Pada waktu itu Dewi Tara menunjuk sebuah gua kecil di balik air terjun yang sebetulnya tidak bisa memuat tubuh mereka, tapi bhiksu-bhiksu tersebut berlari masuk ke sana dan tentara yang mengejar tidak bisa mengenali bahwa mereka ada di sana. Setelah aman, bhiksu tersebut kembali ke Srilangka. Pada waktu ada upacara besar di Buddhagaya, di bagian atas bangunan sucinya ada jendela-jendela yang tidak bisa dibuka sehingga semua orang diminta jasanya oleh raja untuk membukanya tetapi tidak ada yang mampu. Bhiksu yang telah menghancurkan kedua bangunan suci tadi, yang telah diberkati oleh Dewi Tara, menuju ke tempat pintu tersebut, dan sebelum dipegang olehnya pintu tersebut telah terbuka dengan sendirinya, sehingga dia dianggap memiliki kelebihan, lalu menimbulkan tanda tanya dan akhirnya dia bercerita mengenai pengalamannya (apa yang dilakukannya) sehingga raja membatalkan hukuman matinya. Dari cerita ini jelas sekali bahwa apa yang diungkapkan oleh Guru Chandragomi sebelum waktu kejadian itu (teks ini ditulis sebelum kejadian itu) merupakan kebenaran; di mana Dewi Tara tidak memilih siapa yang berdoa kepadanya, apakah dia seorang Buddhis, seorang non-Buddhis, seorang Brahmana, seorang bhiksu, Theravada, Mahayana, dosa atau tidak berdosa; semua yang datang ke hadapan Dewi Tara maka Dewi Tara akan memberikan blessingnya; apakah ia seorang Guru yang terlatih dalam sila, samadhi, prajna; apakah dia seorang penduduk yang tidak mengerti kebajikan dan ketidakbajikan; semua yang datang ke Dewi Tara akan mendapatkan blessing dari beliau. Guru Chandragomi di sini menulis “Memberikan siddhi kepada siapa pun yang menginginkan”, lalu “Sumber dari apa pun yang kuperlukan – aku bersujud”. Guru Chandragomi meminta tattva atau kebenaran (pada slokha pertama) beliau mendapatkannya; pada saat-saat yang lain Guru Chandragomi mendapatkan hal-hal yang bermacam-macam sesuai dengan apa yang diinginkannya. Guru Chandragomi ingin pergi ke suatu tempat yang jauh, secara instant beliau hanya duduk dan melafalkan mantra Dewi Tara kemudian sampai ke tempat itu. Guru Chandragomi merasa kasihan pada seoarng wanita tua yang ingin menikahkan anaknya tetapi tidak memiliki uang, beliau lalu berdoa kepada Dewi Tara, Dewi Tara kemudian memberikan perhiasannya. Jadi Guru Chandragomi telah mengalami berbagai macam hal yang oleh beliau sendiri dikatakan bahwa semuanya berasal dari Dewi Tara. Karenanya beliau di sini menulis suatu kalimat yang mewakili kejadian-kejadian itu yaitu “Sumber dari apa pun yang kuperlukan – aku bersujud”.


Sekarang slokha nomor enam:


Menaklukkan param muka dengan mantra

Meletakkan arcamu di atas kepala

Menjadi sebab tercapainya keempat buah pemujaan

Kekuatanmu yang tak dapat dirintangi – aku bersujud. (6)


Guru Chandragomi bercerita mengenai kekuatan mantra sepuluh suku kata. Param muka yang dimaksudkan adalah bala pasukan penyerang. Jadi ada suatu kejadian pada zaman Guru Chandragomi yaitu peperangan yang menyebabkan kehancuran bagi yang menyerang maupun yang diperangi, pada waktu itu Guru Chandragomi berdoa dan melakukan kegiatan sebagai seorang yogi untuk menghentikan hal itu, yaitu dengan membaca mantra. Semua bala tentara yang sudah siap untuk menghancurkan dengan kuda dan gajah pergi dengan damai dan dengan perasaan bebas dari kebencian. Ini juga terjadi pada zaman setelah Guru Chandragomi (pada Guru-guru lain) maupun sebelum Guru Chandragomi (pada para praktisi Dewi Tara yang lain). Bahwa blessing dari air yang dibacakan mantra sepuluh suku kata, biji mustar yang dibacakan mantra sepuluh suku kata, atau udara yang ditiupkan dengan mantra sepuluh suku kata dari lidah seorang praktisi Dewi Tara yang penuh sraddha dan penuh dengan berbagai ibadah, itu memanifestasikan kegiatan dari Dewi Tara. Binatang buas bisa mendadak menjadi jinak, makhluk yang berbahaya bisa tiba-tiba menjadi makhluk yang sadar (baik), kemudian bencana alam bisa berubah menjadi kebahagiaan, dan seterusnya. Semua itu berasal dari pengaruh kekuatan mantra sepuluh suku kata.


”Meletakkan arcamu di atas kepala, menjadi sebab tercapainya keempat buah pemujaan”, jadi hanya dengan meletakkan arca Dewi Tara di atas kepala atau menyentuhkan kepala pada bagian kaki atau bagian tertentu dari arca Dewi Tara, menjadi sebab tercapainya keempat buah pemujaan. Empat pemujaan yang dimaksud adalah: pemujaan penenangan yaitu menghentikan penyakit, menghentikan kemalangan, menghentikan bencana dan sebagainya; pemujaan peningkatan yaitu memperpanjang umur, membuat lebih sejahtera, membuat lebih bahagia, membuat lebih makmur dan sebagainya; lalu pemujaan penaklukan, mengalahkan makhluk-makhluk pengganggu, mengalahkan rintangan-rintangan dan seterusnya, dan yang terakhir (keempat) adalah pemujaan penghancuran, yaitu menghancurkan musuh-musuh yang merintangi Dharma. Dengan hanya meletakkan arca Dewi Tara di atas kepala, seorang praktisi yang penuh kesadaran, sraddha, maka ia akan mendapatkan salah satu atau semua dari empat buah pemujaan tadi. Ini terjadi pada Guru atau Mahasiddha Tilopa yang menjadi leluhur dari para praktisi Kargyud, yang pada mulanya adalah seorang praktisi Dewi Tara yang sangat tekun di mana dikatakan bahwa beliau merupakan salah satu Guru yang mendapatkan langsung teks tentang Tara dari tangan Dewi Tara sendiri, yang terdapat di bawah kaki arca Sang Buddha. Lalu ada seorang upashaka yang tinggal di vihara Tara, di mana upashaka ini menganggur, tidak punya kebun, tidak punya ternak, tidak berdagang, tetapi mengharapkan hidup sejahtera. Ia kemudian tiap hari bangun pagi-pagi, berpradaksina, bernamaskara, lalu ia mendapatkan batu cintamani dari arca Dewi Tara, dan sejak saat itu ia lebih kaya dari raja yang berkuasa di negeri itu sehingga dapat selama bertahun-tahun menjadi penyokong para bhiksu. Ini terjadi di masa lalu dan cerita-cerita yang demikian melengkapi apa yang dinyatakan oleh Guru Chandragomi di sini, yaitu dengan ”Meletakkan arcamu di atas kepala, menjadi sebab tercapainya keempat pahala pemujaan”, keempat pahala (empat macam) pemujaan yang ada di dalam Tantra yaitu penenangan, pengembangan, penaklukan dan penghancuran.


Lalu Guru Chandragomi menambahkan “Kekuatanmu yang tak dapat dirintangi”, pengaruh Dewi Tara itu tidak dapat dihalangi oleh karma buruk, oleh kemalangan; orang yang karmanya buruk, orang yang sedang dirundung kemalangan, sebetulnya terhalang untuk mendapatkan blessing. Banyak blessing diberikan pada waktu seseorang sedang dirundung kemalangan, blessing yang dijatuhkan pada saat seperti itu tidak akan bermanifestasi. Seorang Guru yang memberkati muridnya, bila murid itu sedang dirundung karma buruk masa lalunya, blessing inspirasi dari Guru itu tidak akan serta merta bermanifestasi sampai karma yang sedang menimpa dirinya itu hilang baru kemudian blessing yang diterima dari Gurunya bermanifestasi. Atau, bahkan sampai berlarut-larut hingga berpindah ke alam yang lain. Tidak demikian dengan Dewi Tara, blessing dari Dewi Tara bisa tiba-tiba terjadi; orang yang sedang menderita seperti kisah Guru Vagishvarakirti yang menderita penyakit lepra yang luar biasa mengerikan bisa tiba-tiba berubah secara drastis, dan sebagainya, masih banyak lagi cerita-cerita yang seperti itu. Oleh karena itu Guru Chandragomi menyatakan bahwa “Kekuatanmu tak dapat dirintangi” oleh apa pun yang lain, bahkan oleh para dewa, para rshi, para yogi yang lain, yang mungkin mencelakai seorang penyembah Dewi Tara; atau jejak karma buruk sendiri; semuanya tidak dapat merintangi blessing Dewi Tara bila seorang penyembah dengan sepenuh hati memohon blessing pada Dewi Tara.


Sekarang yang ketujuh:


Mengenakan perhiasan Sambhogakaya

Anting, permata leher, kalung dari untaian permata

Dengan gelang tangan dan untaian mutiara

Engkau dengan sinarmu yang sangat indah – aku bersujud. (7)


Ini mengenai deskripsi perwujudan Sambhogakaya Dewi Tara.

Lalu yang kedelapan:


Bagi mereka yang membangkitkan rasa bakti sungguh-sungguh kepadamu

Tak sepatah pun kata-kata Guru pernah ia dengarkan

Engkau menimbulkan hangatnya Kebahagiaan Sunyata

Kebijaksanaan tertinggi – aku bersujud. (8)


Bahkan mereka yang tidak punya guru sekalipun sehingga tidak pernah mendengarkan ajaran-ajaran Guru, tidak mendapat bimbingan dari Guru, tidak bisa melihat contoh hidup bagaimana ajaran dipraktikkan; bila orang seperti itu berbakti dengan sangat sungguh-sungguh kepada Dewi Tara, maka akan mendapatkan kebijaksanaan atau kebahagiaan sunyata. Sunyata membawa suatu pengalaman yang membahagiakan yang tidak dapat dirasakan oleh sebab yang lain; orang bahagia mendapatkan keinginan-keinginan duniawi dalam berbagai bentuknya, bisa kedudukan, bisa benda-benda, bisa cinta dan sebagainya; tetapi kebahagiaan seperti itu tidak dapat menyamai sedikit pun kebahagiaan sunyata. Jadi bila seorang praktisi telah mencapai kebahagiaan sunyata maka ia akan bahagia sejak mencapai sunyata sampai seterusnya; berbeda dengan kebahagiaan duniawi, yang hari ini misalnya mendapatkan hal tertentu yang menyenangkan, dalam tempo jam atau hari akan hilang berganti dengan derita; tetapi sunyata yang telah direalisasi di hari (pada detik) seorang praktisi mencapai sunyata, maka seterusnya dia tidak akan mengalami penderitaan lagi. Bila seorang praktisi telah mencapai kebahagiaan sunyata; hatinya, perasaannya, tubuhnya, raut wajahnya, semuanya sudah berubah warna, berubah menjadi arus kesadaran kebahagiaan. Jadi dengan keyakinan saja; misalnya seseorang berdoa kepada Dewi Tara untuk dapat merealisasi sunyata, walaupun dia tidak pernah memegang Prajnaparamita, walaupun dia tidak pernah mendengar tentang ajaran Prajnaparamita; kesunyataan bisa tiba-tiba bermanifestasi dalam dirinya. Bila seseorang berdoa kepada Dewi Tara mengenai realisasi Tantra; dia tidak pernah mendapatkan Guru, dia tidak pernah berjumpa dengan Guru di daerahnya; maka Dewi Tara dapat memberikannya. Ini tentu tidak dimaksudkan bahwa orang lebih baik pergi ke Dewi Tara daripada pergi ke Guru, ini adalah satu ungkapan yang mewakili kenyataan bahwa tidak semua orang beruntung bertemu dengan seorang Guru. Ada kalanya bahwa seseorang lahir di tempat yang sangat jauh di mana tidak ada Guru dari ajaran yang diinginkannya, atau bahwa dia tidak dapat menemukan Guru yang sesuai dengan dirinya. Dalam dua situasi ini, di masa lalu, mereka lalu pergi ke Dewi Tara. Dan di sini dikatakan bahwa Sunyata yang sangat sulit untuk dipelajari, Sunyata yang sangat sulit untuk direalisasi, bisa menjadi blessing yang diperoleh setelah berbakti dengan sungguh-sungguh kepada Dewi Tara. Guru Chandragomi lalu memuji “Prajna tertinggi (kebijaksanaan tertinggi) aku bersujud kepadamu”.


Lalu yang kesembilan:


Dalam ucapan kemuliaanmu, gambaran masa lalu

Muncul suara pengucapan kembali nama Sidham

Engkau mengungkapkan jalan para Arya

Dengan petir TUTTARA – aku bersujud. (9)


Ini merupakan pengalaman-pengalaman pribadi dari Guru Chandragomi, dikatakan bahwa Dewi Tara dalam manifestasinya kadang-kadang mengucapkan potongan-potongan atau bagian-bagian dari mantra sepuluh suku kata. Nama Sidham adalah bunyi suara khas Sansekerta, yaitu yang berisi abjad Sansekerta, yang juga dikatakan dapat membangkitkan kebijaksanaan di dalam diri orang yang mengucapkannya.


Lalu yang kesepuluh, di sini beliau menulis secara khusus kepada Dewi Tara yang disebut sebagai Dana-Tara atau Tara Pemberi:


Dana-Tara, dengan bahasa PHAT

Menaklukkan pasukan mara dan kekuatannya

Engkau yang tiada tara dengan kekuatan tak terukur

Oh penguasa kekuatan gaib – aku bersujud. (10)


Jadi menurut Guru Chandragomi, hanya dengan mengucapkan bijaksara PHAT, pasukan mara dan segala pengaruhnya dapat dikalahkan; sementara dengan berbagai cara yang lain bahkan Brahma, Wisnu, Siwa, juga semua para dewa yang lain tidak dapat mengalahkan kekuatan mara berikut berbagai aspeknya; tetapi para penyembah Dewi Tara dengan mengucapkan bijaksara PHAT berhasil mengalahkan berbagai manifestasi mara dengan kekuatannya. Oleh karena itu lalu Guru Chandragomi di sini mengungkapkan: “Engkau yang tiada tara dengan kekuatan tak terukur” yang artinya melampaui semua makhluk mulia yang memiliki kekuatan–seperti yang kita tahu bahwa di samsara ini banyak sekali makhluk yang memiliki pengaruh dan kekuatan menakjubkan, yang bisa memainkan berbagai kehendaknya menjadi kenyataan, seperti para dewa di berbagai surga, katakanlah Dewa Indra dengan para dewanya, kemudian para dewa di alam yang lebih tinggi seperti Alam Yama dan Alam Nirmanarati dan sebagainya, kemudian para Dewa Rupa dan Tanpa Rupa dan seterusnya; beliau-beliau itu sangat superior; lalu kemudian ada Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa, juga dapat memainkan berbagai pengaruhnya dan oleh karenanya pengaruhnya maka sebagian orang kemudian menganggap mereka sebagai yang Mahaesa, yang Mahakuasa, yang Maha Mengetahui; yang ada dulu, sekarang dan yang akan datang; yang menciptakan dan menghancurkan dan seterusnya; tetapi tidak demikian dengan Sang Buddha. Sang Buddha melihat bahwa para dewa dan brahma pun sebetulnya menjadi subjek dari ketidakkekalan, dari timbul tenggelamnya samsara, hanya yang membedakan mereka adalah kurun waktunya; sehingga bila manusia biasa memandang para dewa dan brahma sangat superior, maka di hadapan Dewi Tara superioritas mereka menjadi tidak berlaku lagi karena Dewi Tara sebagai seorang Buddha tidak terkena lagi gelombang atau timbul tenggelamnya samsara, sedangkan para dewa dan brahma semua masih mengalaminya. Oleh karena itu, di sini Guru Chandragomi menulis bahwa pengaruh Dewi Tara tiada bandingnya, juga tiada terukur. Ini bahkan di antara para Buddha dan Bodhisattva sendiri. Bukan hanya dengan para dewa biasa, tetapi dengan para Buddha dan Bodhisattva, Dewi Tara dikatakan memiliki predikat yang sangat khusus yaitu “Penolong yang tangkas”, begitu orang meminta pertolongan, maka kegiatan pertolongan itu langsung bermanifestasi.


Mengalahkan keajaiban yang lain

Kutukan dan gangguan Dewa,

Naga, Gandharva, Yaksa, Rshi

Serta Dakini – aku bersujud. (11)


Pada slokha kesebelas ini Guru Chandragomi mengungkapkan suatu kegiatan Dewi Tara, di mana kegiatan Dewi Tara terhadap para penyembahnya menyebabkan tidak berlakunya semua yang disebut sebagai gangguan, kekuatan atau kehebatan juga kutukan dari makhluk yang lain. Kita mengingat bahwa dalam cerita para penyembah Dewi Tara ada seorang upashaka yang karena mengecewakan makhluk tertentu yang menjadi penunggu sebuah tempat, makhluk itu mengamuk dan menyebabkan rumah upashaka ini diserang dan didera oleh petir yang bertubi-tubi, tetapi karena upashaka ini seorang penyembah Dewi Tara maka petir-petir itu setiap kali menyambar tidak menimbulkan kerusakan bahkan jejak sambarannya meninggalkan banyak bunga, akibat pengaruh dari sraddhanya kepada Dewi Tara.


Lalu kutukan; orang yang telah memiliki kesaktian (kemampuan gaib tertentu) bisa mencelakakan orang lain dengan kutukannya (apa yang diucapkannya bisa menjadi kenyataan), dan orang yang telah menerima kutukan jarang sekali yang selamat akibat kelemahannya; jadi orang yang lebih sakti mengutuk orang yang lemah dan orang yang lemah ini bisa mengalami celaka; tetapi kalau orang yang lemah ini kemudian pergi ke Dewi Tara, bersimpuh, melakukan offering dan memohon perlindungan, betapapun kuatnya kutukan itu (betapapun itu sangat mematikan) maka tidak akan berlaku lagi karena pengaruh Dewi Tara melampaui semua kekuatan dan semua keajaiban yang lain.


Lalu Guru Chandragomi juga menulis “gangguan dewa”; para dewa juga bisa marah (murka), ada dewa di hutan, di kebun, di gunung, di laut, ada yang di alam-alam surga, ada berbagai macam kelas para dewa. Bila para dewa marah juga bisa menimbulkan kesulitan, seperti tidak turun hujan, terjadinya bencana-bencana yang lain dan sebagainya. Tetapi pengaruh Dewi Tara bisa menyebabkan kemurkaan para dewa itu tidak berlaku; demikian juga dengan naga bisa menyebabkan penyakit; gandharva bisa menyebabkan kematian sebelum waktunya, bisa menyebabkan kecelakaan, bisa menyebabkan kematian dan sebagainya; kemudian yaksa juga begitu, rshi (para pertapa sakti) juga bisa menyebabkan hal itu; dakini (para wanita gaib pengembara yang sakti) juga bisa menyebabkan hal seperti itu; tetapi itu tidak berlaku bagi para penyembah Dewi Tara; baik para dewa, naga, gandharva, yaksa, para rshi, para dakini, apa yang mereka inginkan untuk menyebabkan celakanya seseorang dan bila orang itu kemudian bersimpuh di hadapan Dewi Tara memohon perlindungan, maka kemalangan yang telah ditimpakan kepadanya tidak akan terjadi, tidak akan terbukti, tidak akan menjadi sebuah kenyataan.


Kelihatannya hari ini sampai di sini dulu, kita sampai pada slokha yang kesebelas, mengenai apa yang disebutkan oleh Guru Chandragomi dalam slokha-slokha pujiannya kepada Dewi Tara untuk meningkatkan sraddha Anda semuanya kepada Dewi Tara, untuk memiliki pengetahuan yang lebih luas lagi dari berbagai aspek terhadap kegiatan Kebuddhaan Dewi Tara, karena bila seseorang telah memiliki pengertian yang luas tentang Dewi Tara akan memiliki sraddha yang kuat, dan bila seseorang memiliki sraddha yang kuat kepada Dewi Tara maka dengan mudah semua blessing dan semua kegiatan Dewi Tara dapat dimanifestasikan ke dalam kehidupan dirinya yang sekarang dan semua pengembaraan samsaranya nanti, juga keluarganya, juga bisa mengajarkan hal-hal kegiatan Dewi Tara kepada orang lain demi kebajikan mereka semua. Sekarang Mandala Offering Singkat.




Minggu, 14 September 2003


Selamat siang, Namo Buddhaya!


Sekarang kita akan mempelajari lagi teks yang ditulis oleh Guru Chandragomi, waktu itu kita telah sampai pada slokha yang kesebelas. Kita harus mengingat kembali mengenai karakteristik samsara bahwa semua makhluk termasuk diri kita adalah bagian dari mereka yang sedang mengalami daur ulang; artinya kita telah meninggalkan hidup di masa yang lalu, kemudian sekarang menjalani hidup kita yang sekarang, dan nanti kita juga akan mengakhiri hidup ini melalui suatu proses anicca, dan kemudian kita akan berpindah ke tempat yang lain di dalam kehidupan yang baru. Ajaran dasar Sang Buddha mengajarkan kepada kita bahwa pada level yang paling dasar, kelahiran dan kematian semua makhluk diwarnai oleh kekuatan karma yang dilakukannya; jadi pada level yang paling dasar di mana belum tumbuh aspirasi pembebasan dirinya, penyebab utama berbagai manifestasi yang ada di dalam diri makhluk hidup itu adalah karma yang dimilikinya. Karma pada mulanya dikreasikan melalui kehendak didorong oleh tiga racun pikiran: lobha, dosa dan moha; lalu dorongan tiga racun pikiran (lobha, dosa dan moha) ini bermanifestasi dalam kegiatan tiga pintu indriawi yaitu tubuh, ucapan dan pikiran; dan bila semua telah terjadi maka itu menjadi kegiatan karma; dan karma itu kemudian diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu karma yang membawa pada kebahagiaan dan karma yang membawa pada derita fisik dan mental. Menurut pengalaman bahwa semua makhluk tidak menginginkan penderitaan fisik ataupun mental, dan sebaliknya semua makhluk menginginkan kebahagiaan termasuk juga Anda semuanya, kita semuanya; maka pada level ini Sang Buddha mengajarkan mengenai ajaran yang disebut sebagai Karmaphala. Bila anggur bisa membuahkan anggur dan duri membuahkan duri; maka bila seseorang tidak ingin menuai kesedihan dan penderitaan, yang menjadi komitmen pertama bagi orang itu adalah bagaimana mengurangi atau menekan sekuat tenaga dan mengusahakan semaksimal mungkin apa pun sebabnya apakah sebab yang berat ataupun sebab yang ringan, agar tidak melibatkan diri dalam kegiatan yang disebut sebagai karma-karma buruk yang menyebabkan munculnya suatu timbunan kekuatan negatif yang akan bermanifestasi sebagai penderitaan, dan itu yang dapat disaksikan di ketiga alam yang rendah (alam binatang, preta dan neraka). Sebaliknya, bagi yang menginginkan kebahagiaan fisik dan mental, maka yang harus dilakukan adalah meningkatkan sekuat tenaga menurut ukuran kemampuan dan aspirasi yang dimilikinya, agar memiliki timbunan karma yang besar. Alam manusia dipenuhi oleh berbagai orang yang memiliki kebahagiaan yang bermacam-mcam, kemudian alam para dewa juga demikian; sebab dari semua itu adalah besarnya karma baik atau karma positif yang telah ditimbun semasa hidupnya. Jadi dalam level yang paling dasar sekalipun, kepedulian terhadap pengendalian diri menjadi ciri mereka yang menginginkan kebahagiaan dan tidak menginginkan penderitaan. Guru Shantideva mengatakan bahwa bagi mereka yang tidak mengerti karma, mereka bahkan tidak memedulikan atau tidak mengasihi dirinya sendiri, mereka yang mengabaikan kaidah karma sesungguhnya mencelakai diri sendiri. Guru Shantideva mengemukakan dalam slokha-slokhanya, di sana dikatakan bahwa yang harus ditakuti adalah munculnya pikiran-pikiran yang buruk; karena pikiran-pikiran yang buruk itu, pikiran yang menghasut ucapan yang negatif, pikiran yang menghasut pikiran atau perbuatan yang buruk, bagaikan binatang buas yang dapat mencelakai orang. Jadi sesungguhnya siapa yang harus ditakuti? Apakah beruang, macan, atau gajah liar? Makhluk-makhluk itu hanya menyebabkan penderitaan fisik kecil, tetapi pikiran yang tidak dijinakkan (tidak dikendalikan) dapat menjatuhkan pengembaraan seorang makhluk dalam kurun waktu yang lama. Rinpoche biasanya memberikan ungkapan bahwa menurut para Guru kita harus berusaha untuk setidak-tidaknya mempertahankan kelahiran kita sebagai manusia dengan menciptakan kondisi yang mengarahkan ke sana. Bilamana tidak, maka kita akan kehilangan prospek ini dalam waktu yang lama, karena kelahiran sebagai manusia itu seperti mendorong batu yang besar menuju ke puncak kebebasan dan sekarang dengan tubuh sebagai manusia, batu itu sudah sampai ke tengah-tengah puncak di mana kita memiliki kebebasan berpikir, kebebasan berbuat dan sebagainya, tetapi bila ini gagal dipertahankan maka batu ini akan menggelinding lagi, kelahiran kita akan menggelinding lagi ke tempat yang lebih rendah dan di sana akan mengalami daur ulang yang berkepanjangan dari alam rendah yang satu ke alam rendah yang lain, dari fisik rendah yang satu ke fisik rendah yang lain, dan sebagainya. Jadi ciri bagi mereka yang memedulikan kebahagiaannya adalah peduli pada berlakunya karma. Bagi mereka yang beraspirasi spiritual, karma juga tidak diabaikan. Jadi yang menjadi pijakan bagi perjalanan spiritual seseorang, bagi usaha untuk dapat mewujudkan berbagai realisasi spiritual, adalah berpegang kepada prinsip karma yang diperkenalkan oleh Sang Buddha. Dalam risalah Lamrim kita diajarkan bahwa untuk karma yang telah kita lakukan maka kita harus melakukan purifikasi-purifikasi, melakukan usaha-usaha untuk memurnikannya, sehingga masa lalu yang negatif dan simpanan karma-karma buruk itu akan dapat dimurnikan, sehingga ke depannya seseorang akan dapat berkembang seperti bulan yang menuju purnama dalam perjalanan spiritualnya. Bila seseorang sudah melakukan komitmen yang kuat terhadap pentingnya memperhitungkan karma yang dilakukannya, lalu juga kehendak yang kuat untuk melakukan purifikasi melalui ajaran-ajaran yang telah diajarkan, lalu hal yang harus dilakukan berikutnya adalah mengembangkan aspirasi melihat samsara sebagaimana adanya. Kecintaan yang berlebihan terhadap keduniawian dalam hal ini disebut sebagai kebodohan; kecintaan terhadap tubuh, kecintaan terhadap nama, kecintaan terhadap harta benda dan segala sesuatu yang ada di dunia disebut sebagai kebodohan dari kacamata para Arya; mengapa demikian? Karena kecintaan-kecintaan seperti itulah yang menyebabkan seseorang tidak kunjung mengalami pembebasan, dan Sang Buddha menyebutkan bahwa setiap makhluk telah berada di dalam samsara sejak waktu yang tidak diketahui, telah bermilyar-milyar kali kehidupan. Apakah yang mengikatnya? Apakah yang membuatnya begitu lama mengalami daur ulang reinkarnasi yang berulang kali? Yang mengikatnya adalah keterikatannya terhadap samsara yang disebabkan karena kebodohan atau avidya. Guru Atisha juga menyebutkan bahwa keterikatan adalah racun yang mematikan benih pembebasan. Bila seseorang memiliki keterikatan terhadap kedudukannya, terhadap kehidupannya, terhadap dirinya sendiri, terhadap segala sesuatu di dunia ini; maka pada waktu itu juga keinginan untuk membebaskan diri dari samsara akan sirna atau hilang, dan bila itu terjadi maka makhluk yang bersangkutan tidak akan pernah mengalami pembebasan dari samsara, yang terjadi dia akan meninggalkan tubuh yang satu menuju tubuh yang lain, meninggalkan rumah yang satu memasuki rumah yang lain, meninggalkan keluarga yang satu memasuki keluarga yang lain. Bagi mereka yang melihat kelemahan atau kekurangan ini kemudian membangkitkan aspirasi membebaskan diri, kehendak itu diawali dengan sikap tidak terikat pada hidup dan kehidupan, memandang segala sesuatu di dunia ini sebagai sementara–yang hanya berlaku dalam kurun waktu tertentu dan diakhiri dengan proses yang disebut sebagai anicca. Kesadaran seperti itu akan membangkitkan kehendak untuk membebaskan diri dari lahir dan mati yang berulang kali dengan cara membangkitkan kehendak menempuh jalan menuju pembebasan. Membebaskan diri juga sama seperti level kesadaran sebelumnya, bahwa harus disertai dengan pengertian yang kuat dan pemahaman yang mendetail mengenai apa sebabnya pembebasan tidak dapat diraih dan bagaimana pembebasan dapat diraih. Menurut ajaran para Guru, yang harus dilepaskan adalah kehendak lahir kembali, kehendak untuk menjadi manusia, menjadi para dewa, kehendak untuk menikmati berbagai kesenangan surgawi dan sebagainya; semua itu harus dilepaskan sehingga semua kegiatannya ditujukan untuk tercapainya pembebasan akhir yaitu nirvana. Sang Buddha menganjurkan agar tidak membebaskan diri sendiri dan mengabaikan semua makhluk yang telah berjerih-payah kepadanya, yang telah berkontribusi dalam semua pengembaraannya di dalam samsara. Bila seseorang yang telah pergi dengan membebaskan diri, lalu juga terpikir olehnya mengenai situasi dan nasib makhluk yang lain, pikiran seperti itu disebut pikiran Mahayana (belas kasih Mahayana). Dan belas kasih seperti itulah yang menjadikan Dewi Tara mencapai pembebasannya sebagai seorang Buddha wanita. Jadi apa yang dilakukan oleh semua praktisi Dharma, sesungguhnya juga dilakukan oleh Dewi Tara di masa lalu. Dewi Tara pada mulanya juga menyadari (memperhitungkan) karma, menyadari kesementaraan samsara, lalu membangkitkan kehendak pembebasan diri, lalu melihat nasib makhluk lain yang ada di sekelilingnya yang pernah berinteraksi dengan dirinya dalam setiap kelahirannya, lalu membangkitkan bodhicitta dan akhirnya menjadi Buddha dalam wujud seorang wanita. Apa yang dilakukan oleh Dewi Tara, apa yang diaspirasikan oleh Dewi Tara, langkah-langkah yang ditempuh oleh Dewi Tara; juga merupakan jalan yang harus ditempuh oleh semua orang yang menginginkan menjadi Buddha seperti beliau. Dengan mengingat berbagai aspek ini akan memberikan pengertian yang jelas bahwa sesungguhnya jalan dari semua Buddha adalah sama. Buddha yang sekarang, Buddha yang dahulu seperti Dewi Tara, maupun Buddha yang akan datang yaitu semua praktisi Mahayana yang sekarang sedang membangkitkan bodhicitta dalam dirinya dengan susah payah; jalan yang ditempuh akan sama seperti yang ditempuh oleh semua Buddha. Ini mengenai mengapa dan bagaimana Dewi Tara mencapai Kebuddhaannya.


Dalam diri para penyembah Dewi Tara, yang telah memperoleh blessing dan mencapai realisasi sebagai seorang Mahasiddha atau Panditasiddha, kita melihat bahwa tidak semua manusia beruntung tersebut yang telah memperoleh blessing Dewi Tara merupakan para pandita yang menguasai atau mengerti sekali seluruh Tripitaka. Ada kalanya dan banyak di antara mereka itu yang merupakan para praktisi Dewi Tara yang hanya bergantung pada keyakinan yang kuat kepada beliau. Jadi menempuh jalan Kriyatantra dengan yidam Dewi Tara untuk mendapatkan siddhi dan mencapai berbagai realisasi, sebetulnya pengetahuan terhadap Dharma apakah Dharma sutra maupun Dharma yang lain seperti Prajnaparamita dan sebagainya tidak dibutuhkan, karena yang dibutuhkan dalam ibadah ini adalah keyakinan yang kuat dan harapan atau hasrat yang besar untuk menerima blessing dari Dewi Tara. Dari beratus-ratus para mahasiddha Dewi Tara yang mendapatkan siddhi dari Dewi Tara, juga beratus-ratus para Acharya di India, di Tibet atau di Indonesia di masa lalu, maka sebagian besar yang menyebabkan datangnya siddhi itu bukan keterpelajarannya, bukan ketekunannya dalam belajar filosofi dan berbagai aspek ajaran, tetapi kegigihannya yang pantang menyerah untuk melakukan ibadah terus-menerus kepada Dewi Tara. Ibadah yang dimaksudkan berupa meditasi (sadhana), pelafalan mantranya dan seterusnya. Jadi Dewi Tara telah memberkati mereka, para mahasiddha itu, dengan pertimbangan atau dengan suatu penyebab yaitu devotion atau bakti atau kehendak beribadah yang menggelora. Kita ingat bahwa Guru-guru agung seperti Achrya Nagarjuna, beliau telah bermeditasi di Gunung Sriparvata kepada Arya Tara selama 12 tahun lamanya. Meditasinya yang terus-menerus kepada Dewi Tara selama 12 tahun itulah yang disebut devotion atau usaha yang tanpa menyerah untuk dapat mengalami atau menerima siddhi dari Dewi Tara. Kemudian Guru atau Mahasiddha Vagishvarakirti juga mengalami hal yang sama walaupun sebabnya berbeda; bila Guru Nagarjuna melakukan ibadah memang untuk mendapatkan siddhi dan blessing dari Dewi Tara, tetapi Guru Vagishvarakirti melakukan ibadah untuk mendapatkan blessing supaya disembuhkan dari penyakit lepranya. Lalu para Guru Kadampa seperti Upashaka Dromstonpa dan sebagainya. Kemudian banyak sekali para praktisi Dewi Tara yang menggambarkan bahwa kekuatan keyakinan, kekuatan ibadah yang terus-menerus tanpa kendur selama bertahun-tahun (berpuluh-puluh tahun), itulah satu-satunya penyebab datangnya blessing dari Dewi Tara. Oleh karena sejarah dan kisah para Mahasiddha dan para Guru itu dituliskan untuk memberikan gambaran bagi kita, untuk melapangkan jalan bagi Anda semuanya, bagaimana cara agar Dewi Tara dapat berkenan kepada seorang penyembahnya, maka kisah-kisah itu juga semestinya menjadi contoh bagaimana ibadah kepada Dewi Tara dapat dijalankan. Oleh karena itu, berdasarkan teks yang ditulis oleh Guru Chandragomi, kita berusaha untuk memahami dengan baik bagaimana sudut pandang para Guru terhadap Dewi Tara berdasarkan teks yang beliau tulis.


Sekarang kita akan membaca lagi slokha nomor sebelas, di sini Guru Chandragomi menulis:


Mengalahkan keajaiban yang lain

Kutukan dan gangguan Dewa,

Naga, Gandharva, Yaksa, Rshi

Serta Dakini – aku bersujud. (11)


Guru Chandragomi memuji Dewi Tara bahwa keajaiban yang ada pada diri beliau mengalahkan semua kekuatan keajaiban lain yang dimiliki oleh para dewa, naga, gandharva, yaksa, rshi serta dakini. Maksudnya begini, para dewa juga makhluk-makhluk yang tidak tampak lainnya, bisa merasa senang juga bisa tidak merasa senang. Dalam cerita Jataka dikatakan bahwa dewa-dewa juga memiliki perasaan seperti manusia, bedanya adalah kekuatan yang dimiliki. Kalau kita tidak bisa terbang, tidak bisa menampilkan diri kita dalam berbagai rupa tetapi hanya bisa tampil dalam berbagai rupa busananya saja–kadang-kadang merah, hijau, kuning; kadang-kadang pakai kaos atau kemeja–kita tidak bisa merubah fisik kita; tetapi para dewa bisa, para dewa bisa bersalin rupa dalam berbagai wujud, bisa manusia, bisa binatang, bisa pohon, bisa sungai, bisa batu, bisa kayu dan sebagainya sesuai dengan yang mereka kehendaki. Apa yang dilakukan oleh para dewa adalah suatu keajaiban. Lalu naga juga demikian; kalau kita membaca biografi Guru Nagarjuna, ada dua anak naga yang menyamar sebagai manusia tetapi mengoleskan minyak cendana di tubuhnya karena dikatakan para dewa dan naga tidak tahan dengan bau keringat manusia yang keluar atau menetes dari bawang merah, bawang putih, terasi, ikan asin, sambal, kecap dan segala macam hal. Oleh karena setiap kali Guru Nagarjuna memberikan ajaran dan ketika dua orang itu muncul, semua orang yang ada di situ mencium bau yang wangi dan setelah mereka pergi bau wanginya hilang, maka semua orang lalu menyadari bahwa bau harum minyak cendana berasal dari kedua orang itu, dan ketika ditanyakan mereka mengaku bahwa dirinya adalah naga yang ikut mendengarkan ajaran Guru Nagarjuna tetapi karena tidak tahan pada bau manusia maka mengolesi tubuhnya dengan minyak cendana. Dan ini menjadi tradisi baik di masyarakat Hindu maupun Buddha di semua daerah apakah di India, di Cina, di Mongolia, di Indonesia; kalau bersembahyang kepada dewa harus membubungkan aroma yang wangi yang bisa berupa dupa, ramu-ramuan getah yang lain apakah getah kayu damar atau cendana dan sebagainya, maksudnya adalah supaya suasana yang datang pada waktu itu adalah suasana yang menyegarkan (beraroma harum). Dalam tradisi Lamrim kita diajarkan sebelum melakukan kelas Dharma atau mendengarkan Dharma, tempat harus dibersihkan dulu, diperciki minyak wangi, kemudian dupa juga dinyalakan. Tempat yang bersih, tempat yang harum adalah tempat yang cocok untuk mengundang para Bodhisattva (karena ada kegiatan mengundang para Buddha-Bodhisattva) juga para dewa mungkin akan ikut mendengarkan. Jadi supaya bau bawang merah-bawang putih manusia menjadi berkurang (kalah dengan bau dupa) tetapi kemudian menjadi salah berpikir (oleh beberapa orang) bahwa bersembahyang yang penting pakai dupa, dupanya tidak wangi tidak menjadi soal, sampai asapnya memedihkan mata tidak soal, yang penting pakai dupa–karena tidak mengerti lalu pengertiannya menjadi salah (salah kaprah). Gandharva juga demikian. Para dewa dan naga memiliki kekuatan batin, ini sekaligus membuktikan kepada manusia bahwa sesungguhnya yang memiliki kekuatan batin itu belum tentu para Arya, belum tentu Mahasiddha, belum tentu seorang Srotapana, Sakadagami, Anagami atau Arhat, belum tentu juga seorang Bodhisattva.


Dalam ajaran dikatakan bahwa di antara kekuatan-kekuatan batin, maka yang paling berharga adalah yang didapatkan setelah menjalankan ketiga praktik yaitu Sila, Samadhi dan Prajna. Bila ketiga praktik ini dijalankan lalu menimbulkan suatu dampak sampingan yaitu munculnya kekuatan batin, maka kekuatan batin seperti itu mengalahkan kekuatan batin yang dimiliki oleh para dewa, naga, gandharva dan sebagainya. Apa sebabnya? Karena kekuatan batin yang dimiliki oleh seorang praktisi setelah menjalankan praktiknya apakah melalui Sila, Samadhi dan Prajna, atau melalui meditasi sadhana kepada yidamnya, merupakan kekuatan batin yang didapatkan melalui Dharma, dengan maksud bahwa kekuatan batin itu berasal dari pengendalian batin atau mentalnya. Ini berbeda dengan dewa atau naga yang memiliki kekuatan batin karena kelahirannya di masa lalu telah melakukan kegiatan tertentu, misalnya seperti Dewa Indra adalah sebagai hasil dari seorang raja atau seorang manusia biasa yang melakukan kegiatan besar seperti menggali sumur untuk memberi minum banyak orang, membangun jembatan untuk dilalui banyak orang, membangun tanggul yang berguna bagi banyak orang; sehingga sebagai akibatnya ia terlahir kembali menjadi seorang dewa sekaligus memiliki kekuatan batin di dalamnya yaitu bisa membaca pikiran makhluk lain, mendengar suara yang jauh, dan dapat memanifestasikan dirinya dalam berbagai rupa; tetapi tidak mengerti Dharma dan bukan berasal dari pengendalian diri.


Pada waktu Guru Aryadeva membela orang Buddhis, ditantang berdebat, dan taruhannya adalah bila orang Buddhis kalah dalam berdebat maka semua orang di Vihara Nalanda harus menjadi penyembah Dewa Siwa. Guru Aryadeva berhadapan muka dengan Guru Aryasura atau Guru Ashvaghosha yang pada waktu itu masih sebagai seorang praktisi (penyembah) Dewa Siwa. Guru Aryasura karena ketekunan ibadahnya sudah berhadapan muka dengan Dewa Siwa dan mendapatkan blessing tidak akan dapat dikalahkan dalam perdebatan oleh semua manusia yang lahir dari wanita. Lalu Guru Aryasura bertanya kepada Guru Aryadeva, karena pada waktu itu Guru Aryadeva matanya telah hilang satu, ia berkata “Kamu orang bermata satu (orang buta) bagaimana bisa mengalahkan saya yang sudah menerima blessing dari Dewa Siwa?” Lalu Guru Aryadeva berkata ”Walaupun mata saya hanya satu sedangkan Dewa Indra bermata seribu dan Dewa Siwa (Mahadeva) bermata tiga, mereka tidak melihat kebenaran, tetapi saya dengan satu mata saya melihat kebenaran.” Artinya Guru Aryadeva telah mencapai pembebasan dari samsara dan mencapai realisasi sebagai seorang Yogi Mahayana. Dan itu menandakan bahwa kemampuan batin yang dimiliki oleh seorang praktisi superior terhadap semua kemampuan batin yang didapatkan karena kelahiran (karena ketidaksengajaan). Sekali lagi ini mengajarkan kepada kita bahwa kekuatan latihan mengalahkan keajaiban karena tidak semua makhluk yang dapat memperagakan kesaktian (keajaiban) seperti para naga, gandharva, yaksa, rshi, juga dakini duniawi itu merupakan makhluk-makhluk suci. Sedangkan seorang praktisi yang tulus, yang penuh dengan kemauan yang keras untuk mencapai penyempurnaan diri, walaupun dia sedang mengalami perjalanan, dia belum menampakkan kemampuan-kemampuan keajaiban, tetapi Sang Buddha sendiri mengatakan “Bila saya harus bernamaskara, saya akan bernamaskara kepada seorang Bodhisattva yang sedang menuju penyempurnaan diri, bukan kepada Bodhisattva yang telah paripurna–yang telah menyelesaikan tugasnya atau menyelesaikan usahanya menyempurnakan diri” Apa artinya? Artinya seorang praktisi pemula lebih patut untuk dihargai, karena dia akan mengalami banyak persoalan, banyak kesulitan, banyak tantangan dalam perjalanan spiritualnya. Tetapi mereka yang telah selesai tentu tidak akan mengalaminya lagi. Itu diucapkan sendiri oleh Sang Buddha.


Slokha kesebelas ini menggambarkan bahwa para dewa dapat melakukan berbagai keajaiban; naga juga demikian, dapat mendatangkan banjir, dapat mendatangkan petir, dapat mendatangkan racun; gandharva dapat mengambil daya hidup makhluk hidup (manusia bisa meninggal karenanya), ghandarva dapat membuat orang kerasukan, kesurupan dan sebagainya; kemudian yaksa juga dapat membunuh manusia (menyebabkan kematian); para rshi, para yogi, para praktisi yang bertapa selama bertahun-tahun, ucapan dan perbuatannya bisa mendatangkan apa yang mereka inginkan; demikian juga dengan dakini duniawi. Jadi di Buddhis ada dakini, di tradisi Hindu juga ada; dakini Buddhis adalah dakini yang berkomitmen terhadap konsep atau prinsip Dharma yaitu tidak menyakiti makhluk lain; tetapi dakini Hindu juga sama dengan manusia hanya saja memiliki kemampuan spiritual yang besar sehingga bisa mencelakai orang lain, bisa mendatangkan bala bencana kepada mereka yang tidak berkenan di hatinya karena perbuatan atau ucapannya atau karena hal-hal yang lain. Guru Chandragomi di sini memaksudkan bahwa para penyembah Dewi Tara dengan bersandar kepada beliau, luput dari semua hal ini. Jadi para penyembah Dewi Tara yang telah menyembah Dewi Tara dengan sepenuh hati dalam kurun waktu yang lama–bukan penyembah Dewi Tara yang baru atau yang sedang mendekatkan diri pada Dewi Tara, tetapi maksudnya seperti Guru Chandragomi sendiri–maka seorang penyembah Dewi Tara seperti beliau sudah luput dari segala kutukan dewa, dari gangguan naga, gandharva, yaksa, rshi, dan sebagainya. Bila dia datang ke suatu tempat, semua naga akan datang untuk menawarkan tempat duduk dan menawarkan apa yang bisa dibantu kepada makhluk seperti Guru Chandragomi. Bila beliau berkehendak mengunjungi alam gandharva, alam yang hanya beraroma keharuman, maka semua makhluk di situ akan menyambutnya dan memandang Guru Chandragomi sebagai seorang makhluk utama. Kemudian yaksa juga demikian. Kemudian para pertapa, yogi dari paham lain, dakini-dakini juga demikian. Jadi yang dimaksudkan, bila ada seorang penyembah Dewi Tara yang telah bersandar selama bertahun-tahun dan sudah menyelesaikan ibadahnya kepada Dewi Tara, keajaiban yang lain redup bagaikan bintang di antara bulan purnama. Ini artinya bahwa penyembah Dewi Tara yang belum mencapai level itu tetap harus memperhitungkan keberadaan makhluk lain. Misalnya, kalau pergi ke tempat yang banyak menjadi tempat tinggal para dewa maka harus mengedepankan tata krama dan sopan santun karena para dewa tidak akan menganggapnya sebagai seorang makhluk mulia, karena dia belum memiliki kemuliaan itu. Bila dia menginjak daerah yang menjadi hunian naga seperti di gua, di sungai, atau di hutan; maka ia juga harus mengedepankan tata krama dan sopan santun karena penyembah Dewi Tara yang masih pemula (yang belum menyelesaikan ibadahnya) tentu saja belum memiliki pengaruh seperti Guru Chandragomi. Ini juga berarti bahwa agar setiap orang segera menyelesaikan ibadahnya kepada yidamnya yaitu Dewi Tara, dengan melafalkan mantranya berjuta-juta kali, dengan melakukan meditasi (sadhananya) lebih lama dan lebih sering, agar ibadahnya dapat diselesaikan.


Sekarang slokha yang kedua belas:


Dengan SVAHA menghancurkan kelahiran dari kelembaban,

Menutup pintu kandungan dengan HULU-HULU

Dengan OM menghentikan kelahiran dari telur

Dengan TARE menghentikan kelahiran secara spontan – aku bersujud. (12)


Ini adalah tentang kualitas mantra dari Arya Tara. Mantra sepuluh suku kata Dewi Tara selain juga merupakan manifestasi beliau dalam bentuk cahaya dan suara, mantra Dewi Tara sekaligus merupakan Dharma yang dapat menutup semua pintu alam rendah, juga semua pintu kelahiran. Artinya, mantra sepuluh suku kata setelah meresap ke dalam arus kesadaran seorang praktisi, menyebabkan kelahiran dari kelembaban tidak akan dialaminya, ia tidak akan mungkin lahir menjadi nyamuk, tidak akan mungkin lahir menjadi jentik-jentik dan semua bentuk kelahiran yang disebabkan karena kelembaban. Lalu dia juga tidak akan lahir lagi dari dalam kandungan, tidak kandungan binatang, pun juga tidak dari kandungan wanita. Lalu dia lahir dari mana? Praktisi yang telah mencapai realisasi dari ibadah ini–tentunya seperti Guru Chandragomi–ia akan lahir secara spontan melalui kehendaknya, bukan spontan yang disebabkan oleh karma yaitu di alam dewa, tetapi akan lahir secara spontan melalui pranidhananya (kehendaknya) sebagai seorang Mahayanis, sebagai seorang Bodhisattva, bisa di alam-alam surga seperti Guru Chandragomi lahir di atas bunga teratai di surga Potala di hadapan Arya Avalokiteshvara, atau seperti Guru Atisha Dipamkarasrijnana yang lahir secara spontan di Surga Tushita karena pranidhananya yang ingin mencicipi ajaran pertama Buddha Maitreya kelak setelah beliau turun ke dunia. Demikian juga dengan Guru Serlingpa Dharmakirti. Jadi bagi praktisi Dewi Tara, kelahiran karena kelembaban menjadi tidak ada lagi, karena kandungan tidak ada lagi, karena telur tidak ada lagi, karena spontan yang disebabkan oleh kekuatan karma juga tidak akan ada lagi. Ini merupakan penjelasan lain mengenai kualitas mantra dari Dewi Tara.


Yang ketiga belas:


Dalam hakikatmu Sunyata dan Maitri

Menyala dari dalam memancar keluar

Berkobar dengan cahaya kebijaksanaan agung

Menghalau kegelapan yang tak dapat diketahui – aku bersujud. (13)


Guru Chandragomi memuji Dewi Tara sebagai bentuk perwujudan dari sunyata dan maitri. Sunyata dan maitri ini menyala dalam diri Dewi Tara, memancar keluar dalam bentuk cahaya yang bersinar, di dalam cahaya itu memuat kebijaksanaan agung, dan kebijaksanaan agung beliau itu menghalau kegelapan pekat (kegelapan yang sama sekali tidak ada titik terang) bagi makhluk samsara.


Lalu yang keempat belas:


Membakar gangguan kelima anak panah mara

Dengan cahaya yang berasal dari pembakaran

Engkau tidak meninggalkan pertolongan pada orang yang kurang beruntung


(Dewi Tara tidak akan mengabaikan orang yang tidak beruntung dan akan senantiasa memberikan pertolongan, bisa dalam wujud yang disadarinya, bisa dalam wujud yang tidak disadarinya. Ada orang yang Buddhis, ada juga makhluk yang bukan Buddhis; semua makhluk yang menderita akan menjadi subjek pertolongan dari Dewi Tara; apakah dia muslim, apakah dia Kristiani, apakah dia Hindu, apakah dia binatang, apakah dia ashura, apakah dia dewa, bila mengalami penderitaan maka ia menjadi subjek dari pertolongan Dewi Tara. Buddha tidak pernah melihat makhluk berdasarkan siapa dirinya dan apa yang dilakukannya, tetapi berdasarkan pengalaman yang dialaminya yaitu pengalaman penderitaan yang dialaminya. Hanya saja mereka kadang-kadang tidak menyadari dari mana datangnya pertolongan; mungkin terlihat dari orang lain, mungkin terlihat dari alam, mungkin terlihat terjadi begitu saja. Ada seorang praktisi Mahayana berdoa misalnya, karena mengalami kesulitan dia berdoa siang dan malam kepada Buddha (Bodhisattva); pada waktu dia berdoa blessingnya sudah dijatuhkan oleh Bodhisattva tetapi pada saat yang bersamaan dia masih belum menyelesaikan arus karma buruk yang sedang dialaminya; dua tahun lagi dia baru menerima blessing itu karena arus karma buruknya masih terus mengalir; dua tahun kemudian baru dirasakan manifestasi blessing yang dimohonkan kepada Bodhisattva tadi. Pada waktu itu dia sudah lupa bahwa yang dialaminya adalah blessing dari doanya kepada Bodhisattva ketika dia sedang mengalami kesulitan; sehingga yang muncul di permukaan bukanlah rasa terima kasih kepada Bodhisattva tetapi sebaliknya dia berpikir bahwa pada waktu dia berdoa tidak ada pertolongan yang datang, dan sekarang semuanya menjadi lebih baik seolah-olah itu hasil usahanya sendiri. Itu yang banyak terjadi. Para Guru mengatakan, ucapan apa pun yang ditujukan kepada Buddha-Bodhisattva, sikap fisik apa pun yang ditujukan kepada Buddha-Bodhisattva, semuanya berbalas, merupakan karma yang secara langsung berakibat; masalahnya adalah kapan akibat itu dapat dirasakan karena banyak hal yang ikut berperan di dalamnya; tetapi akibat itu sendiri sudah pasti akan terjadi, seperti yang terjadi pada para Guru di mana dari kelahiran yang satu ke kelahiran yang lain mereka merasakan pahala dari semua ibadah yang terus-menerus berdatangan.


Menyingkirkan musuh jalan Bodhi – aku bersujud. (14)


Bagi para praktisi, musuh jalan Bodhi (jalan menuju pembebasan) lebih banyak dari musuh yang harus dihadapi di dunia nyata. Musuh jalan Bodhi bersifat mental, di antaranya berbagai macam klesha dalam bentuknya yang halus maupun kasar, seperti keengganan, kemalasan, karma buruk, kebodohan dan sebagainya. Musuh-musuh itu secara laten bersembunyi dan bermanifestasi bersamaan dengan kegiatan fisik dan mental. Blessing yang memancar dari tubuh Dewi Tara yang merupakan kebijaksanaan agung, manifestasi dari sunyata dan maitri, bahkan juga menyingkirkan rintangan atau musuh di jalan Bodhi; yaitu musuh mara, klesha dan sebagainya. Dengan demikian dari tahun ke tahun bila seseorang menjadi penyembah Dewi Tara, kegelisahan mentalnya akan mereda, pikirannya akan semakin sejuk dan dingin, makin lapang dan makin hangat, pikirannya menjadi semakin jernih, kemudian berbagai gejolak mental akan surut perlahan-lahan dari waktu ke waktu seiring dengan sejauh mana dia melihat manifestasi kegiatan Dewi Tara yang memancar dan melebur berbagai rintangan bodhi itu. Selama dia terus melihat kegiatan itu, bersamaan dengan waktu itu pula maka kegalauan mental, kesedihan-kesedihan batin, kelemahan-kelemahan fisik dari waktu ke waktu akan surut, akan berkurang, dan pada gilirannya fisiknya akan merupakan fisik seorang makhluk yang telah terberkati, kemudian mentalnya juga akan mencerminkan mental yang bebas dari semua bentuk mara serta klesha yang merintangi jalan bodhi. Tubuh seperti itu tidak akan mengantuk untuk duduk selama berhari-hari (bermalam-malam), tidak akan kelelahan bila ia harus tidak berbaring, juga tidak akan kehausan dan kelaparan, tidak akan kekurangan gizi dan nutrisi bila dia hanya memakan makanan vegetarian atau hanya makan sedikit saja. Itu akibat dari pengaruh yang disebabkan penglihatannya terhadap kegiatan Dewi Tara dalam meditasi. Ini juga berarti memberi keyakinan kepada para praktisi Dewi Tara agar tidak perlu mencemaskan tubuh fisiknya, tidak perlu mencemaskan kesehatannya, tidak perlu mencemaskan kegalauan mentalnya dan berbagai macam hal yang terjadi pada umumnya dalam diri semua orang, karena ibadahnya (meditasi dan pelafalannya) akan merubah fisik dan mental secara gradual menuju pada keadaan yang dimiliki oleh para praktisi Dewi Tara yaitu yang sudah saya sebutkan tadi.


Lalu yang berikutnya:


Engkau yang hakikatmu Buddha Karma (Buddha Kegiatan)

Engkau dengan tubuhnya, ucapan dan pikiran serta siddhinya

Berada di mana-mana, memiliki sepuluh kekuatan dan segala kesempurnaan

Engkau yang mahir di dalam keenam hal – aku bersujud. (15)


Ini mengenai kegiatan Dewi Tara.


Sekarang yang keenam belas:


Hakikat tubuhmu adalah alam pengetahuan

Dharmakaya hakikat alam (segala sesuatu)

Bebas dari perubahan dan dua perwujudan

Engkau menampakkan diri dalam berbagai bentuk tak terhitung – aku bersujud. (16)


Ini merupakan pujian terhadap manifestasi fisik dari Dewi Tara. Hakikat sesungguhnya dari Dewi Tara adalah Dharmadhatu, yang bisa bermanifestasi di mana saja, tidak tersekat oleh ruang dan waktu; apakah orang berada di Amerika, apakah di Indonesia, di Tibet, di Kutub Utara, apakah berada di alam surga atau neraka; begitu pikiran mengenai Dewi Tara muncul, pikiran mengenai kualitas beliau sebagai seorang Buddha yang dapat bermanifestasi di mana saja muncul; maka pada saat itu juga kegiatan Dewi Tara yang fisik (tubuhnya) merupakan hakikat Dharmakaya juga akan bermanifestasi di sana. Ini berarti juga bahwa orang dapat menjalankan ibadah Dewi Tara di temple, bisa di dalam kamar praktisi, bisa di dalam gua di pegunungan, bisa di pantai yang jauh dari keramaian, bisa di dalam hutan; di mana saja kesadaran mengenai Dewi Tara muncul, maka Dewi Tara bisa bermanifestasi di sana. Jadi tidak ada tempat yang jauh dari Dewi Tara, tidak ada tempat yang dekat dari Dewi Tara, semua tempat di mana semua makhluk exist, maka di situlah tempat yang dekat dengan Dewi Tara.


Kelihatannya kita sampai di sini saja, slokha 16, kita lanjutkan minggu yang akan datang. Perlu diberi catatan lagi mengenai nasihat Guru Atisha bahwa kita telah lahir sebagai manusia, kita telah bertemu dengan Guru, ajaran Sang Buddha telah berkembang dengan pesat ke mana-mana; termasuk kita telah bertemu dengan ajaran Sang Buddha, juga telah bertemu dengan Dewi Tara tentunya; kita harus berusaha memanfaatkan karma (nasib) yang baik ini dan jangan menjadikan hal ini menjadi sia-sia. Seiring dengan bertambahnya usia, dengan berlalunya waktu, maka tidak ada yang dapat diusung dan dipikul dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari waktu ke waktu kecuali semakin dekatnya dengan yidam yang menjadi objek ibadahnya. Seorang praktisi harus berusaha sekuat tenaga untuk terus-menerus membuat ingatannya, membuat kesadarannya semakin kuat kepada yidamnya, perasaan lebih kuat lagi kepada yidamnya, dan melakukan pelafalan yang lebih banyak lagi; dengan demikian pada waktunya nanti ia akan mendapatkan semua hal yang menjadi hak setiap praktisi dari yidamnya. Bila waktu tidak digunakan dengan baik, bila hal yang lain lebih banyak dilakukan, maka tentu saja kita membutuhkan waktu yang lebih lama lagi untuk mendekatkan diri kepada Dewi Tara. Sekarang Mandala Offering Singkat.



Minggu, 28 September 2003


Selamat pagi, Namo Buddhaya!

Sekarang kita akan meneruskan pembahasan kita pada teks yang ditulis oleh Guru Chandragomi di mana kita telah sampai pada slokha yang kelima belas. Sebelum mempelajari teks ini ada baiknya kita mengingat kembali bagian-bagian dari ajaran Sang Buddha, yaitu mengapa kita perlu memanfaatkan kehidupan kita sekarang sebagai manusia untuk berusaha semampu kita mempraktikkan Dharma; di mana telah berkali-kali kelahiran di masa yang lalu selama waktu yang tidak diketahui, kita belum berhasil membawa diri kita atau memanfaatkan setiap kelahiran itu untuk mengangkat arus kesadaran kita mencapai realisasi-realisasi Dharma. Bila dalam hidup yang sekarang di mana kita menjadi seorang pria atau seorang wanita, sebetulnya problematikanya juga sama, kita lahir menjadi manusia dengan berbagai macam persoalan di dalamnya; bilamana kita kembali melalaikan atau disebabkan karena berbagai problematika kehidupan duniawi kita seperti persoalan keluarga, persoalan pekerjaan, persoalan ekonomi, persoalan kesehatan dan sebagainya mengalahkan kesadaran spiritual kita, maka kejadiannya akan berulang lagi yaitu kita melewatkan hidup sekarang ini tanpa berhasil membawa kesadaran Dharma dalam diri kita, tanpa berhasil merealisasikan jalan Dharma di dalam diri kita. Pengertian harus diperjelas di dalam kebijaksanaan kita semuanya bahwa apakah hidup yang sedang kita jalani, apakah berbagai pengalaman mental dan fisik yang kita rasakan sekarang ini, merupakan sebuah bentuk yang realitas atau merupakan sesuatu yang demikian adanya; ternyata dari kebijaksanaan Dharma kita dapat melihat bahwa pengalaman-pengalaman hidup kita baik mental maupun fisik hanya bersifat sementara. Menjadi seorang pria hanya sementara, mengalami tekanan persoalan keluarga, mengalami berbagai kesulitan dan problematika hidup hanya bersifat sementara, karena berbagai hal akan mengalir terus-menerus dalam diri setiap makhluk dan mereka yang diliputi ketidaktahuan atau kebodohan menganggap bahwa kehidupannya adalah apa yang terjadi pada saat suatu problematika sedang berlangsung. Guru Shantideva mengumpamakan demikian: Setelah sekian lama seseorang terdampar di pulau yang terpencil dan tidak ada yang diinginkannya kecuali ingin segera meninggalkan pulau yang terasing itu, siang malam ia menunggu kedatangan perahu yang dapat menyeberangkannya keluar dari pulau yang terasing itu, tetapi ketika perahu yang ditunggu-tunggunya datang dia sedang lelap tidur, jadi dengan demikian dia tidak menggunakan perahu itu dan setelah perahunya pergi baru menyadari kesalahannya yaitu mengabaikan perahu yang sudah lama ditunggu-tunggu. Demikian juga kelahiran sebagai manusia yang diumpamakan tubuh fisik manusia yang baik dan dapat digunakan untuk mencapai realisasi spiritual ini sebetulnya sudah lama ditunggu-tunggu ketika berinkarnasi sebagai binatang; sebagai makhluk di alam lain; atau juga sebagai manusia tetapi yang asyik dengan problematikanya, yang hanyut di dalam duka derita samsara, menangis ketika mengalami persoalan ditinggalkan keluarganya atau harta bendanya, menangis ketika bersusah payah untuk menjalankan hidupnya dan sebagainya; dan tidak melihat ada hal lain yang harus dilakukan dalam hidupnya. Apa yang diinginkannya adalah terbebas dari semua hal itu, tetapi karena tidak melihat perahu yang sesungguhnya sudah dimilikinya maka perahu itu akan pergi dan menjauh meninggalkannya. Jadi prinsip dasar untuk dapat membangunkan aspirasi yang kuat mencapai realisasi adalah memandang dengan jernih bahwa kehidupan itu bersifat sementara dan suka-duka pengalaman hidup hanya bersifat semu. Oleh karena itu seorang praktisi harus memegang praktiknya, memegang komitmennya, memegang keyakinannya melampaui pengalaman suka-duka yang menimpa atau yang berlangsung dalam dirinya. Apakah panas terik, apakah hujan deras, apakah dalam keadaan senang atau susah; senantiasa berpikir bahwa senang-susahnya, panas-dinginnya merupakan hal yang bersifat sementara. Dengan demikian ia akan mengambil jarak antara proyeksi karma masa lalu yang bermanifestasi dalam bentuk keluarga, bentuk kelahiran fisik tubuhnya sendiri, juga kecenderungan mentalnya yang berlainan dari waktu ke waktu; dengan demikian sikap itu yang disebut sebagai keteguhan hati yang menjadi syarat para Bodhisattva dalam menyempurnakan jalan kebodhisattvaannya. Bila sikap seperti itu tidak dimiliki, maka seseorang akan diombang-ambingkan oleh orang-orang di sekelilingnya, oleh harta bendanya, orang perasaan senang dan sedihnya, serta oleh berbagai pikiran yang bermunculan akibat karma masa lalunya. Ketika seseorang melihat realitas kehidupan dengan demikian (dengan cara ini) maka dikatakan bahwa kebijaksanaan telah menyala dalam dirinya; dan ketika kebijaksanaan mulai menyala dalam dirinya, ia mulai melihat bahwa jalan atau arah yang hendak ditempuh melampaui arah atau gagasan keduniawiannya. Mungkin seseorang bercita-cita menjadi seorang pengusaha, mungkin seseorang bercita-cita menjadi sesuatu, menjadi seseorang, ingin memiliki sesuatu, ingin melakukan sesuatu; tetapi di atas semua hal itu ia berpegang bahwa apa yang tergelar di dalam dunia ini, apa yang menjadi impian duniawi ini, merupakan hal yang kedua dari realitas sejati, dari realitas Dharma bahwa dirinya berada dalam lingkaran samsara yang terus-menerus berdaur ulang. Setelah gagasan seperti itu muncul, ini disebut sebagai sikap mental yang melepaskan keduniawian, di mana dalam Tiga Dasar Sang Jalan merupakan syarat pertama bagi tercapainya pembebasan sekarang maupun yang akan datang. Jadi tercapainya pembebasan dipicu atau didasarkan pada munculnya persepsi murni atau pandangan kebijaksanaan sejati terhadap hidup dan kehidupan yang pada dasarnya menyadarkan dirinya bahwa kehidupan ini bersifat fana dan segala hal suka-duka di dalamnya juga bersifat fana, dan kesadaran yang muncul kemudian adalah ingin mencapai pembebasan. Lamrim menganggap ini adalah kesadaran level kedua, melampaui makhluk samsara yang lain. Bila makhluk yang lain habis waktunya, habis pikiran dan energinya untuk menutupi kekecewaan yang satu dengan kemanisan yang lain, untuk menutupi kepahitan yang satu dengan kemanisan yang lain, yang oleh para bijaksana dicela sebagai seperti orang haus yang meminum air garam (air laut), penderitaannya tidak akan berhenti, ketidakpuasannya tidak akan berhenti, tetapi akan berpindah ke dalam hal-hal yang lain dan terus-menerus seperti itu selama-lamanya di dalam samsara. Melihat realitas yang demikian, maka tujuan tertinggi dari makhluk samsara itu sesungguhnya adalah membebaskan dirinya sendiri dari kelahiran dan kematian yang berulang-ulang. Lalu karena kita memiliki karma yang membawa kita menjadi seorang Mahayana, bahwa tujuan membebaskan diri tidak seyogianya digunakan atau dimaksudkan untuk membebaskan dirinya sendiri semata, tetapi juga mengingat kebajikan makhluk yang lain, mengingat belas kasih kepada mereka yang juga nasibnya sama dengan kita; Sang Buddha menganjurkan agar kita dalam membebaskan diri tidak asal membebaskan diri tetapi membebaskan diri dengan menjadi seorang Buddha, dengan menjadi seorang Buddha yang dalam kebebasan dirinya dapat sekaligus menolong makhluk samsara. Dan itulah yang dilakukan oleh Dewi Tara yang berdasarkan belas kasihnya setelah membangkitkan kesadaran seperti yang saya kemukakan tadi, berusaha untuk menjadikan dirinya sendiri sebagai seorang Buddha. Usaha itu telah dicapai oleh beliau, dan apa yang kita lakukan kepada beliau sekarang sebetulnya merupakan hal yang diinginkan oleh beliau sendiri, yaitu melakukan kegiatan, menolong makhluk samsara untuk membebaskan dirinya dari penderitaan sementara maupun dari penderitaan samsara yang sesungguhnya yaitu kelahiran dan kematian yang berulang-ulang. Dengan menjadikan Dewi Tara sebagai objek ibadah, dengan menjadikan Dewi Tara sebagai sumber realisasi dan inspirasi menuju kebuddhaan; maka sesungguhnya telah bertemu antara kehendak dari seorang Buddha dan kebijaksanaan Dharma dari seorang praktisi yang melihat pentingnya pertolongan juga blessing dari seorang yidam.


Sekarang kita akan membahas lagi slokha yang kelima belas, di sini tertulis bahwa Guru Chandragomi mengungkapkan:


Engkau yang hakikatmu Buddha Karma (Buddha Kegiatan)

Engkau dengan tubuhnya, ucapan dan pikiran serta siddhinya

Berada di mana-mana, memiliki sepuluh kekuatan dan segala kesempurnaan

Engkau yang mahir dalam keenam hal – aku bersujud. (15)


Guru Chandragomi memuji berbagai kualifikasi Dewi Tara, yang pertama beliau menyebut bahwa Dewi Tara itu Buddha Kegiatan (Buddha Karma). Seperti yang pernah saya jelaskan bahwa kegiatan Buddha bila diwakili dengan warna, maka warnanya hijau. Buddha yang berwarna hijau seperti Buddha Amogasiddhi, merupakan manifestasi dari kegiatan semua Buddha, maksudnya lambang dari kegiatan semua Buddha. Oleh karena Dewi Tara juga merupakan kegiatan aktif dari para Buddha, maka tubuh beliau berwarna hijau. Tubuh, ucapan dan pikiran serta siddhinya berada di mana-mana; tidak di Indonesia, tidak di Tibet, di India, di alam-alam para dewa, alam-alam para ashura, para yaksa, para gandharva; di mana ada makhluk hidup yang menjadi subjek pertolongan (subjek kegiatan) dari seorang Buddha, maka di situ ada tubuh Dewi Tara, ada kegiatan ucapan Dewi Tara, ada kegiatan siddhi Dewi Tara. Jadi tidak ada tempat yang tidak diliputi oleh tubuh, ucapan dan pikiran Dewi Tara. Apakah orang yang beribadah mengharapkan manifestasi atau penampakan atau blessing Dewi Tara itu berada di dalam tempat yang tersembunyi seperti di gua-gua, atau berada di Indonesia, di gunung-gunung, atau di hutan-hutan, atau berada di India, atau di alam surga; tidak ada tempat yang jauh atau tidak terjangkau oleh tubuh, ucapan dan pikiran serta siddhi Dewi Tara. Sebagaimana seorang Buddha, Dewi Tara juga memiliki dasabala atau sepuluh macam kekuatan seorang Buddha. Jadi itu pujian Guru Chandragomi terhadap realitas yang ada di dalam diri Dewi Tara.


Lalu yang keenam belas:


Hakikat tubuhmu adalah Dharmadhatu alam pengetahuan atau hamparan kebijaksanaan

Dharmakaya hakikat segala sesuatu

Bebas dari perubahan dan ada-tiada (dua perwujudan)

Engkau menampakkan diri dalam berbagai bentuk yang tak terhitung – aku bersujud. (16)


Jadi Dewi Tara berada dalam realitas Dharmadhatu, realitas ketiadaan dan keberadaan, kemudian Dewi Tara menampakkan diri dalam berbagai bentuk yang tiada terbilang. Dalam persepsi mental di mana kita tidak melihat secara kasatmata, sebagaimana yang digambarkan dalam manifestasi Sambhogakayanya, yaitu bertubuh hijau, mengenakan atribut istadevata dan sebagainya; jadi seperti sekarang kita berbicara mengenai Dewi Tara atau mengingat Dewi Tara seolah-olah Dewi Tara itu tidak ada (tidak hadir), tetapi mengingat bahwa beliau telah berhakikatkan Dharmakaya (tubuh Dharma) juga Dharmadhatu, maka di mana ada ruang, di mana ada keberadaan yang disadari atau diketahui oleh makhluk hidup, Dewi Tara juga ada di sana. Itu makna dari slokha yang keenam belas ini.


Yang ketujuh belas:


Suaramu terdiri dari enam puluh nada.


(Ini adalah nada suara yang dimiliki oleh seorang Buddha, jadi hanya seorang Buddha yang dapat menyuarakan suaranya sebanyak 60 macam bunyi suara).


Dharma-Gantha, Dnama dan Sidham


Mengungkapkan keenam objek keberadaan


(keberadaan di sini diinterpretasikan sebagai sunyata, tetapi juga dapat dikaitkan dengan enam alam kehidupan samsara; jadi mengungkapkan keenam eksistensi dalam samsara).


Dari ketiadaan segala sesuatu – aku bersujud. (17)


Ini adalah pujian Guru Chandragomi terhadap kecakapan suara atau ucapan dari Dewi Tara yang mengandung 60 nada, kemudian kualitas-kualitas suara itu dalam mengungkapkan keenam macam keberadaan samsara dan sunyata.


Yang kedelapan belas:


Orang yang meninggalkan kekayaan dan pergi mengemis

Makanan dan minuman dalam pecahan tembikar di pintu orang lain

Jika ia mengucapkan pujianmu

Engkau memberinya istana. (18)


Ini merupakan pujian Guru Chandragomi terhadap keajaiban atau pengaruh spiritual dari Dewi Tara. Orang yang meninggalkan kekayaan dan pergi mengemis, artinya adalah orang yang semula memiliki harta kekayaan kemudian membagi-bagikan harta kekayaan kepada orang lain lalu pergi menjadi seorang praktisi apakah sebagai yogi atau sebagai bhiksu seperti yang terdapat dalam biografi Guru Sarvajnamitra. Ada seorang Mahaguru Tarasiddha atau mahasiddha Dewi Tara, beliau bernama Guru Sarvajnamitra. Sebelum menjadi seorang praktisi ia merupakan orang yang memiliki banyak harta benda, lalu membagi-bagikan harta benda itu kepada orang-orang yang membutuhkan, karena pada waktu itu kesadaran pelepasan duniawi telah tumbuh dalam hatinya dan keinginan untuk menempuh jalan spiritual (mencapai pencerahan batin) telah menggelora dalam dirinya, maka harta bendanya dibagikan kepada orang-orang. Ketika semua harta benda telah dibagikan, beliau pergi menyusuri jalan dari satu tempat ke tempat yang lain, di perjalanan bertemu dengan seorang brahmana yang sudah lanjut usia tanpa pengiring dan berjalan menggunakan tongkat. Guru bertanya kepada brahmana ini, “Hendak ke mana pergi seorang diri dengan begitu antusias?” Ia berkata bahwa ia mendengar ada seseorang bernama Sarvajnamitra yang senang memberikan hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Dia ingin pergi bertemu dengan orang itu untuk meminta harta yang dibutuhkannya. Lalu Guru berkata, “Apakah belum mendengar bahwa orang itu sekarang telah menjadi pertapa?” Mendengar ucapan Guru, brahmana itu kelihatan terkejut sekali dan seperti kehilangan mimpinya untuk mendapatkan harta (harapannya untuk menerima harta dari orang yang murah hati). Melihat brahmana tersebut menunjukkan perasaan sedemikian kecewanya, Guru tidak dapat berdiam diri, dan bersamaan dengan itu ada seorang raja yang telah membuat pengumuman (karena raja ini menerima wangsit dari dewanya bahwa untuk menjadi seorang kesatria agung harus mandi di atas 100 kepala orang); mendengar pengumuman ini Guru Sarvajnamitra pergi menghadap raja dan menjual dirinya sendiri untuk menjadi salah satu dari mereka yang menjadi alat ritual mandi yang direncanakan raja. Dan sebagai imbalannya diberikan emas seberat dirinya, kemudian oleh Guru emas itu diberikan kepada brahmana miskin ini. Dan cerita-cerita itu terus berlanjut sampai akhirnya Dewi Tara mendengar doa Guru Sarvajnamitra, dan kemudian memberikan berbagai manifestasi juga berbagai hal yang menyebabkan bahkan sang raja sendiri kemudian menjadi siswa dari Guru Sarvajnamitra dalam melakukan ibadah kepada Dewi Tara. Ini merupakan salah satu kisah bagaimana orang meninggalkan hartanya, yang semula hidup dalam kenyamanan kemudian terlunta-lunta di jalanan, bahkan untuk makan dan minum pun menggunakan tembikar yang telah pecah yang dilemparkan oleh penduduk di jalanan. Bila di lidah orang seperti itu mengucapkan pujian Dewi Tara, karena kegigihan serta keteguhannya dalam mengupayakan jalan pembebasan, walaupun dirinya sendiri tidak membutuhkan istana, dirinya sendiri tidak mengharapkan surga-surga, tetapi kemuliaan dan kehormatan akan jatuh ke tangan atau ke dalam diri seorang praktisi yang memiliki kualifikasi seperti itu (yaitu telah melepaskan hartanya, kemudian sepanjang suka-dukanya menempuh jalan terus-menerus mengucapkan pujian kepada Dewi Tara).


Masih banyak lagi kisah seperti Guru Sarvajnamitra di mana pujian-pujian yang ditujukan kepada Dewi Tara menimbulkan pengaruh yang sangat besar bagi dirinya serta orang lain. Memuji Dewi Tara merupakan ibadah yang mudah dilakukan dan menimbulkan gelombang karma dan pengaruh yang sangat besar bagi timbunan karma baik seseorang, juga menimbulkan pengaruh besar bagi perjalanan spiritual seseorang. Mengapa demikian? Karena pujian yang ditujukan kepada seorang Buddha dapat menimbulkan efek atau pengaruh spiritual bergantung pada pengaruh atau kekuatan yang dimiliki atau ditimbulkan oleh kegiatan Kebuddhaan dari Buddha yang bersangkutan. Seperti bila kita mengingat cerita Guru Ashvaghosha yang menjadi seorang pujangga agung sekaligus Bodhisattva, dalam kelahirannya yang lalu ia adalah seekor burung gagak yang bersuara parau, tetapi dalam menyuarakan suara paraunya itu dia berpikir tentang Sang Buddha. Jadi pada saat Sang Buddha tinggal di suatu hutan, burung gagak juga tinggal di situ. Karena sering melihat Sang Buddha maka terpengaruh sraddha dalam hatinya, sehingga meskipun burung gagak lahir dengan suara yang sangat buruk, tetapi karena didasari dengan sraddha yang kuat telah menyemaikan benih karma besar terhadap keindahan suara juga terhadap pengaruh batinnya di kemudian hari. Setelah kelahirannya kembali, dia tidak saja memiliki kecerdasan dan kemerduan suara, tetapi juga kemampuan dalam merealisasi Dharma, serta kemampuan menuangkan berbagai keindahan sastra di dalam karya tulis. Oleh karena itu Guru Ashvaghosha kemudian dipandang sebagai salah satu pujangga agung Mahayana, walaupun inkarnasi sebelumnya dia adalah seekor burung gagak.


Lalu Guru Sthiramati yang ketika kecil juga memuji Dewi Tara dengan tangisnya, dikarenakan adanya sifat kekanak-kanakan dan keyakinan pada Dewi Tara. Dikatakan bahwa Guru Sthiramati memiliki segenggam kacang dan di dalam temple Dewi Tara di Nalanda pada waktu itu, anak kecil ini berdiri di hadapan altar Dewi Tara bermaksud memakan kacangnya, tetapi karena dia pernah mendengar ajaran bahwa bila makan di depan altar atau di depan Buddha harus terlebih dahulu mempersembahkannya maka dia mempersembahkan kacang itu. Oleh karena dia tidak ingin kacang itu berkurang, dia kemudian mengambil kembali kacang yang telah diletakkan di atas meja altar, tetapi karena dia ingat lagi bahwa itu tidak diperbolehkan dia kemudian menaruh kembali kacang itu, dan melakukan berulang-kali hal yang sama sambil menangis. Lalu Dewi Tara menampakkan diri, menyuruh supaya kacangnya diambil untuk dimakan, sambil berkata bahwa beliau akan memberkatinya. Hanya dengan ucapan seperti itu, Guru Sthiramati lalu menjadi seorang Guru agung Prajnaparamita yang memiliki kefasihan Abhidharma, juga merupakan salah satu Tarasiddha, yang sekaligus menjadi Guru dari Acharya Chandragomi. Ini mengenai kekuatan pujian kepada Dewi Tara.


Kalau seseorang mengucapkan mantra Mahamuni yaitu Om Muni Muni Mahamuni Sakyamuniye Soha, dikatakan bahwa sepuluh ribu kalpa karma buruk yang dilakukan secara fisik akan terhapus dari arus kesadarannya. Sepuluh ribu kalpa adalah suatu kurun waktu yang sangat besar sekali. Karma-karma buruk selama itu akan terhapus dari arus kesadaran seseorang. Tetapi barang siapa mengucapkan mantra Dewi Tara, maka semua kelahiran di ketiga alam rendah dan di alam-alam luhur akan ditutup, dan yang terbuka adalah jalan menuju Kebuddhaan. Kenapa demikian? Karena masing-masing Buddha memiliki pengaruh berdasarkan pranidhana yang beliau ucapkan di masa lalu. Jadi memuji Dewi Tara merupakan kegiatan yang sangat mudah dilakukan tetapi memiliki pengaruh yang sangat besar bila didasari dengan keyakinan dan pengertian yang kuat terhadap kegiatan Dewi Tara.


Lalu yang kesembilan belas:


Melalui gambar perwujudanmu

Buku kebenaran sejati, berhiaskan dengan kalimat-kalimat

Adalah hakikat dari Prajnaparamita

Arya Tara – aku bersujud kepadamu. (19)


Gambar perwujudan Dewi Tara, apakah arca atau lukisan yang menampilkan wujud Sambhogakaya Dewi Tara dengan berbagai atributnya, sesungguhnya adalah bagaikan sebuah buku kebenaran, karena ia akan membawa pada realitas yang sesungguhnya, pada pengalaman yang sesungguhnya; yang sesungguhnya berhakikatkan Prajnaparamita. Ini juga sekaligus menegaskan bahwa bila seseorang menjadi bhakta atau penyembah Dewi Tara, sebetulnya banyak aspek yang berkembang di dalamnya (di dalam interaksi itu) termasuk juga seperti yang terjadi pada Guru Sthiramati, yaitu berkat blessing dari Dewi Tara beliau menjadi seorang Mahaguru dari Prajnaparamita serta Abhidharma.


Yang kedua puluh:


Dengan pedang kebijaksanaan yang segar (atau yang bebas) dari kebimbangan (klesha)

Engkau memotong ketidaktahuan yang merusak, kekuatan samsara

Pelita yang menerangi kegelapan pekat,

Yang membingungkan tak dapat diketahui – aku bersujud kepadamu. (20)


Dalam slokha ini Guru Chandragomi memandang Dewi Tara sebagai pedang kebijaksanaan yang memangkas akar kebodohan yang menjadi jerat dalam samsara. Lalu beliau juga sebagai pelita penerang kegelapan pekat yang tak dapat ditembus oleh pandangan lahiriah maupun pandangan mental dari semua makhluk.


Lalu yang kedua puluh satu:


Engkau di atas tempat duduk bulan dan bunga teratai

Dengan kaki kanan terjulur dan kaki kiri ditekuk

Di atas bunga teratai seribu daun

Di bawah kakimu – aku bersujud kepadamu. (21)


Ini slokha penghormatan yang umum, yang menggambarkan manifestasi Dewi Tara.

Lalu yang kedua puluh dua:


Engkau memiliki utpala yang besar, menunjukkan bahwa engkau

Ibu dari Tathagata ketiga masa

Pada tanganmu engkau mengenakan tanda luhur

Dharmacakra dengan seribu jeruji – aku bersujud kepadamu. (22)


Ini juga pujian yang menggambarkan salah satu bentuk manifestasi Dewi Tara, yang di sini dikatakan memegang bunga utpala (teratai biru) yang besar, lalu di telapak tangan beliau terdapat Rajacakra (Dharmacakra yang memiliki seribu jeruji).


Yang kedua puluh tiga:


Dhyana sempurnamu, yang mengatasi ketiga alam

Memotong semua ujung tali (samsara maksudnya)

Tak ternoda oleh lumpur tiga ciptaan (tiga keberadaan makhluk hidup)

Engkau menyelamatkan dari samsara. (23)


Di sini Guru Chandragomi memuji Dewi Tara bahwa meditasi atau dhyana Dewi Tara telah melampaui ketiga alam. Mengapa meditasi dikatakan melampaui ketiga alam? Pada awal seseorang berusaha mempraktikkan meditasi, pertama-tama ia hanya melihat eksistensi dirinya sendiri. Setelah seseorang mencapai dhyana dengan berbagai level, mulai terlihat bahwa sesungguhnya ada keberadaan makhluk lain; ada makhluk lain yang di bawah, dari yang terendah seperti alam neraka, preta, sampai keberadaan yang di atasnya yaitu alam-alam surga, alam para brahma. Fenomena itu (keberadaan alam-alam lain) hanya dapat dilihat, disaksikan, ditembus dengan menggunakan samadhi atau dhyana. Banyak para yogi atau praktisi mungkin juga melihat alam lain tetapi ada yang melihat hanya alam surga saja sehingga menganjurkan para siswanya untuk pergi ke sana karena alam-alam surga itu penuh dengan kebahagiaan dan kelihatannya tidak ada penderitaan. Lalu ada yogi yang melihat alam lebih banyak lagi dan menganjurkan para siswanya untuk ikut mengalami apa yang dilihatnya. Tetapi seorang Buddha, seperti halnya Sang Buddha, demikian juga dengan semua Buddha-Buddha yang lain termasuk Dewi Tara, tidak ada satu pun sudut keberadaan samsara yang tidak beliau lihat dari meditasinya. Beliau melihat dari seekor semut di alam keberadaan manusia sampai alam neraka yang paling dasar, dari setiap individu yang ada di sana; kemudian di alam-alam luhur melihat semua alam surga, alam brahma dan sebagainya. Oleh karena itu, di sini Guru Chandragomi mengungkapkan bahwa “dhyana sempurnamu” (samadhimu yang sempurna, meditasimu yang mencapai kesempurnaan) telah mengatasi, telah menembus, telah melihat, telah menyaksikan ketiga alam keberadaan yaitu Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu. Ini juga menjadi satu hal yang patut mendapat penekanan bahwa sesungguhnya kecakapan seorang praktisi dalam melihat keberadaan alam yang lain (untuk menembus semua alam-alam yang lain) tidak ada cara lain kecuali meditasi. Oleh karena itu, salah satu Dharma seorang Mahayana (Mahayanis) adalah dhyanaparamita, yaitu paramita meditasi, paramita memeditasikan diri guna mencapai kecakapan atau kemampuan untuk melihat keberadaan samsara yang sesungguhnya, bukan samsara yang berdasarkan ungkapan dalam kitab-kitab suci semata atau tutur yang disampaikan dalam desana atau upadesha semata tetapi samsara yang dilihat dengan kemampuan dhyananya sendiri. Dari samadhi seperti itu lalu Dewi Tara memotong semua tali pengikat samsara. Dari samadhi (dhyana) seperti itu menjadi tahu penyebab orang masuk ke alam binatang, penyebab kembalinya ke alam manusia, penyebab jatuh ke alam preta, penyebab terpuruk ke alam neraka, penyebab pindah ke alam-alam surga atau bermanifestasi di alam-alam brahma; itu semuanya kemudian tampak jelas dari dhyananya yang sempurna itu. Lalu setelah melihat realitas yang sesungguhnya, kalau orang berbicara, berbuat, berpikir akan bermanifestasi dalam suatu akibat; dalam slokha ketiga Guru Chandragomi mengungkapkan “Tak ternoda oleh lumpur tiga ciptaan”. Bila orang sudah tahu bahwa api itu panas, maka orang akan berhati-hati dalam memperlakukan api. Bila orang melihat es itu dingin, maka orang juga akan melakukan sikap yang tepat terhadap es. Bila seorang praktisi, seorang Bodhisattva, seorang Buddha yang melihat segala sesuatu dengan begitu jelas; maka sudah tentu ia tidak akan melakukan apa pun yang bersifat noda atau cela, karena ia melihat apa yang tidak dilihat oleh mereka yang mungkin melakukan kesalahan. Lalu baris yang keempat “Engkau menyelamatkan dari samsara”. Dengan kemampuan dhyananya yang sempurna, Dewi Tara memiliki kesanggupan menyelamatkan semua makhluk berdasarkan apa yang dilihat dan apa yang telah diraihnya. Ada ungkapan dalam Buddhis bahwa hanya seorang nakhoda yang mahir yang dapat menyeberangkan orang lain ke pantai seberang; hanya mereka yang telah menolong dirinya sendiri yang dapat menolong orang lain. Artinya, hanya seorang Buddha atau Bodhisattva yang telah bebas dari samsara yang dapat membebaskan makhluk lain juga dari samsara. Meditasi Mahayana bukan meditasi dengan tujuan yang lain, walaupun mungkin meditasi yang dipraktikkan oleh seorang praktisi menimbulkan berbagai pengaruh keajaiban misalnya melihat eksistensi alam lain, mendengar suara-suara lain, melihat jauh melampaui penglihatan biasa; tetapi karena tujuan seorang praktisi Mahayana adalah untuk menjadi seorang Buddha, maka hal-hal seperti itu seperti orang yang sedang berjalan melewati pasar; di mana ada berbagai hal, ada makanan lezat, ada buah-buahan yang menarik, ada baju-baju yang menarik, ada tempat berteduh yang bagus, tapi tidak digunakan karena tujuan perjalanannya bukan untuk ke tempat seperti itu. Meditasi dalam Mahayana yang didasari keinginan untuk dapat menembus ketiga alam keberadaan, yaitu Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu, bukan meditasi untuk membenamkan dirinya ke dalam berbagai lumpur ciptaan.


Sekarang yang kedua puluh empat:


Berhiaskan berbagai macam permata

Pakaian kebangsawanan

Rambutmu biru kehitaman dan disanggul

Dihias dengan Akshobhya – aku bersujud. (24)


Ini salah satu manifestasi Dewi Tara yang dilihat oleh Guru Chandragomi, di mana dalam teks yang lain dikatakan bahwa Pancadhyani Buddha menghiasi mahkotamu, jadi sebetulnya yang duduk di atas mahkota permata Dewi Tara adalah lima Buddha yaitu Buddha Akshobhya, Buddha Ratnasambhava, Buddha Amitabha, Buddha Amogasiddhi dan Buddha Vairochana. Tetapi kadang-kadang dengan maksud kegiatan tertentu, maka masing-masing Buddha dimanifestasikan lebih menonjol dari yang lain. Ada kalanya Dewi Tara tampak berhiaskan Buddha Akshobhya di mahkotanya, ada kalanya Buddha Ratnasambhava, ada kalanya Buddha Amogasiddhi dan sebagainya. Tetapi dalam slokha ke-24 ini, yang menghiasi mahkota Dewi Tara adalah Buddha Akshobhya.


Slokha kedua puluh lima:


Di mana pun terlihat arca Tara

Keyakinan menjadi tumbuh

Pikiran sendiri menjadi bebas dari penderitaan

Dari alam rendah – aku bersujud. (25)


Maksudnya adalah, di mana pun seseorang melihat arca Dewi Tara, apakah di vihara, di gunung atau di gua, atau di kamarnya sendiri, bila keyakinan bangkit dalam dirinya, maka ia akan dibebaskan dari penderitaan di alam rendah.


Sekarang slokha yang kedua puluh enam:


Dililit oleh untaian SVAHA dan OM


(karena Tara sendiri adalah nama beliau; dari mantranya OM TARE – itu Tara, TUTTARE – Tara lagi, TURE – Tara lagi, SVAHA); jadi sebenarnya yang melilit itu adalah mantra SVAHA dan OM; sementara TARE – TUTTARE – TURE menunjukkan Dewi Tara dalam berbagai aktivitasnya.


Penuh dengan kekuatan mantra, permata dan obat

Sumber dari pemujaan yang membuat

Bermacam-macam pengaruh – aku bersujud kepadamu. (26)


Di antara OM dan SVAHA atau SVAHA dan OM mengandung berbagai pengaruh mantra, pengaruh permata cintamani, juga pengaruh penyembuh, yang bergantung kepada berbagai macam pemujaan; misalnya puja usia panjang, puja kesembuhan, puja penaklukan, puja pengembangan dan sebagainya; maka pengaruh-pengaruh puja itu disebabkan oleh untaian mantra SVAHA dan OM, yaitu di antara keduanya bermanifestasi pengaruh Dewi Tara yang ditimbulkan melalui pelafalan mantranya yang secara spesifik menyebutkan atau mengungkapkan mengenai tujuan dari puja yang bersangkutan.


Sekarang yang kedua puluh tujuh:


Sempurna tubuh, ucapan dan pikiran

Engkau memiliki keinginan luhur dan telah mencapainya

Kecepatanmu laksana kilat bagi kebahagiaan semua makhluk

Akhir dari kemalasan – aku bersujud kepadamu. (27)


Kembali lagi ini adalah pujian terhadap Dewi Tara, Guru Chandragomi berkata bahwa Dewi Tara sempurna tubuh, ucapan dan pikirannya; keinginan luhurnya telah tercapai yaitu menjadi seorang Buddha, menyelamatkan makhluk samsara; kemudian kecepatannya bagaikan kilat – ini melampaui para Buddha-Bodhisattva yang lain; lalu beliau mengakhiri slokha ini dengan “Akhir dari kemalasan (artinya akhir dari kelambanan) – aku bersujud kepadamu”. Ini merupakan karakteristik yang sangat khusus yang dimiliki oleh Dewi Tara.


Dua puluh delapan:


Bebas dari pengaruh karma

Engkau telah memotong keempat pintu kelahiran, dan bebas dari kelahiran

Bahkan tanpa kesalahan, sempurna dalam kebajikan

Engkau berada dalam nirvana buah latihan masa lalumu – aku bersujud. (28)


Sesungguhnya seorang Buddha yang telah mencapai Bodhisattvabhumi yang kedelapan telah putus pengaruh karma pada dirinya. Mengapa demikian? Karena sudah merealisasi Dharma Anatta, tidak ada ego dalam dirinya, dengan demikian tidak ada karma yang dilakukannya. Apa yang menyebabkan beliau masih berada dalam samsara dan melakukan kegiatan adalah kekuatan pranidhananya. Oleh karena telah mencapai kesempurnaan, maka dia juga tidak akan dilahirkan kembali. Pintu-pintu kelahiran telah tertutup, dan kebajikannya mengalir berdasarkan pranidhana yang dimilikinya, kesadaran beliau sendiri sebenarnya sudah identik dengan kesadaran Nirvana. Jadi walaupun masih melakukan kegiatan, masih menjalankan berbagai kebajikan yang disebabkan kekuatan pranidhananya, tetapi kesadaran seorang Buddha sendiri sesungguhnya telah berada dalam Nirvana.


Lalu dua puluh sembilan:


Jika kepada wanita bernama Tara

Seseorang memberikan penghormatan dan melakukan bakti

Kebajikan dari tindakan itu adalah tercapainya Kebuddhaan

Kepadamu yang membawa keberuntungan bagi yang mendengar dan melihat – aku bersujud. (29)


Slokha ini khusus terkait dengan perjalanan atau sraddha dari Guru Chandragomi. Guru Chandragomi memiliki persepsi bahwa seharusnya orang yang menjadikan Dewi Tara sebagai yidam juga menghormati semua orang yang bernama Tara. Lalu juga bahwa penghormatan yang diberikan kepada orang yang bernama Tara, yang muncul dari anggapan bahwa yang bernama Tara adalah Dewi Tara, maka blessing yang diterima dari sikap seperti itu adalah blessing dari Dewi Tara sendiri, yaitu Kebuddhaan. Ini yang terjadi pada diri beliau sendiri. Dalam risalah atau ajaran yang lain juga muncul suatu anggapan bahwa karena Dewi Tara bermanifestasi dalam bentuk yang hijau, maka seorang praktisi Dewi Tara ada kalanya juga sangat menaruh keyakinan atau bersraddha kepada warna-warna hijau; tetapi tentunya satu Guru dengan lain Guru memiliki hal yang berbeda terkait dengan pengalaman hidupnya sendiri. Mengingat bahwa teks ini ditulis oleh Guru Chandragomi kepada siswanya (atas request atau permohonan dari siswanya), tentu seorang Guru akan menularkan apa yang dialaminya kepada siswanya. Mengingat bahwa Guru Chandragomi memiliki pengalaman seperti ini, dan para siswanya melihat akibat yang baik dari sikap mental seperti yang dimiliki oleh Guru Chandragomi, maka tentu para siswanya juga mengikutinya, yaitu menghormati semua orang yang bernama Tara. Sebaiknya seorang praktisi Tantra tidak memberikan nama Tara kepada anaknya, kepada cucunya, kepada saudaranya, dan sebagainya; tetapi mungkin akan memberikan nama Tara kepada siswa-siswanya, seperti misalnya, kebahagiaan Tara, kemurahan Tara, dan sebagainya, yang semuanya mengungkapkan berbagai bentuk karunia atau kemurahan hati dari Dewi Tara.


Lalu yang ketiga puluh:


Sebagaimana pohon cendana putih yang tumbuh

Di antara ara di hutan

Di antara para dewa yang menolong semua makhluk

Engkaulah yang paling utama – aku bersujud kepadamu. (30)


Guru Chandragomi mengungkapkan di sini bahwa di antara pohon-pohon yang berminyak di hutan (yang mengandung minyak, yang dapat disuling, yang menimbulkan aroma harum) maka Dewi Tara adalah Cendana Putih, yang terbaik dari semua jenis pohon yang dapat disuling di hutan. “Di antara para dewa yang menolong semua makhluk (maksudnya para istadevata) Engkaulah yang paling utama – aku bersujud kepadamu”. Ungkapan seperti ini hampir diungkapkan oleh semua Guru yang merupakan Tarasiddha atau mahasiddha dari Dewi Tara, seperti Guru Atisha, Guru Buddhasrijnana, dan masih banyak Guru yang lain. Bahkan di sana dikatakan bahwa “Engkau melampaui Brahma, Wisnu, Siwa, Mahadeva, Uma, dan sebagainya”. Ini tentu bukan ucapan fanatisme, yang merendahkan dewa lain disebabkan karena mengangkat istadevatanya sendiri. Bila kita ingat biografi Guru atau Mahasiddha Virupa yang juga merupakan praktisi Dewi Tara, Mahasiddha Virupa melintas di salah satu tempat cuci para penyembah Mahadeva; di mana raja yang berkuasa di tempat itu juga semua penduduknya sedang melakukan persiapan untuk membuat upacara (offering) besar pada Mahadeva. GuruVirupa yang melintas di situ hanya lewat saja dan tidak ikutan, lalu orang-orang tersinggung karena ada orang tidak mau menghormati Mahadeva. Raja menyuruh dengan paksa supaya Guru Virupa ini mau bersujud menghormat kepada patung keramat dari Mahadeva, tetapi Guru Virupa berkata “Saya tidak akan menghormat karena saya telah mencapai realisasi yang melampaui realisasi apa yang Anda hormati.” Tetapi karena terus dipaksa, Guru Virupa berkata bahwa “Bila ada akibat buruk yang timbul, jangan salahkan saya.” Lalu Guru Virupa berkata bahwa sebetulnya tidak pernah terjadi di masa lalu bahwa orang yang lebih mulia menghormati makhluk yang lebih rendah. Dan seketika itu arca Mahadeva terbelah di tengahnya dan terdengar suara Mahadeva dari angkasa yang meminta maaf pada Guru Virupa. Bahkan di kaki seorang yogi agung seperti Mahasiddha Virupa, sebetulnya makhluk-makhluk yang berinkarnasi di alam-alam luhur tidak sebanding dengan beliau, karena seorang yogi agung seperti Mahasiddha Virupa, juga Guru Chandragomi dan sebagainya, telah melepaskan diri dari samudra samsara, dari kelahiran dan kematian; tetapi tidak demikian dengan para dewa walaupun memiliki kurun waktu hidup dan keagungan yang melampaui makhluk-makhluk biasa. Para Guru (para mahasiddha) di masa lalu, tidak ada ungkapan yang didasari oleh perasaan-perasaan superior diri kemudian menganggap yang lain inferior dan sebagainya; apa yang beliau tulis, apa yang beliau ungkapkan adalah berdasarkan realitas yang dilihat melalui kesempurnaan dhyana, melalui pengalaman beliau sendiri dan seterusnya. Ini bukan berarti bahwa seorang praktisi Dewi Tara tidak perlu menaruh hormat pada makhluk agung yang lain, ini berarti bahwa seorang praktisi (penyembah) Dewi Tara melihat bahwa Dewi Tara merupakan pohon cendana di antara eranda di hutan dan merupakan dewa di antara para dewa. Sebaliknya, kalau dia berhadapan dengan dewa-dewa yang lain juga menunjukkan tata krama sebagaimana yang harus dilakukan; artinya kalau Anda pergi ke kelenteng misalnya, di situ ada Dewa Bumi, ada Kwan Kong, ada Mak Co, ada berbagai macam dewa-dewa tradisi; atau bila kita ke Bali, di situ ada pura ini, pura itu dan sebagainya; tidak ada salahnya kita bertata krama menaruh bunga dan sebagainya; tetapi bila ada kemungkinan bahwa seseorang tidak berinteraksi dengan mereka (dengan makhluk-makhluk itu) akan lebih baik; jadi tidak dengan sengaja datang ke tempat pemujaan dewa-dewa yang dimaksud dan melakukan berbagai kegiatan, walaupun tidak dipersalahkan, karena ada teks Tantra yang tidak mengijinkan hal itu. Jelasnya bahwa ini tidak harus membuat seorang praktisi Dewi Tara merasa superior di antara makhluk yang lain. Yang superior adalah Dewi Tara, para praktisinya pada umumnya masih berusaha untuk menyempurnakan diri, dengan demikian belum memiliki kualifikasi superior seperti para mahasiddha di masa lalu.


Sekarang yang ketiga puluh satu:


Engkau telah menemukan empat macam tiadanya rasa takut

Dan dengan suara singa mengungkapkan tiadanya aku

Menaklukkan enam puluh dua pandangan salah atas adanya aku –

Aku bersujud kepadamu. (31)


Slokha yang ketiga puluh satu ini dibahas panjang lebar dalam teks yang disebut Brahmajalasutta dalam tradisi Hinayana, yaitu mengenai pandangan-pandangan salah serta situasi-situasi mental yang ada dalam diri manusia.


Lalu yang ketiga puluh dua:


Sebagaimana matahari dan bulan

Sebagaimana Gunung Sumeru yang agung

Di tengah-tengah alam raya

Engkau tak tertandingi – aku bersujud kepadamu. (32)


Sebagai bentuk devosinya yang kuat kepada Dewi Tara, Guru Chandragomi mengungkapkan bahwa di antara para istadevata (di antara dewa-dewa) yang melakukan kegiatan menolong makhluk samsara, maka Dewi Tara tidak tertandingi, bahkan di antara para Istadevata Tantra. Seperti yang pernah saya ungkapkan bahwa Dewi Tara diberi predikat “Yang Tangkas, Yang Cepat”, artinya di mana ada makhluk mengingat beliau, maka aktivitasnya akan berlangsung. Lalu bila ada Tantra yang mengharuskan orang untuk melafalkan doa dalam berbagai praktik Tantra harus didahului dengan abhiseka, maka khusus Dewi Tara bahwa orang yang ingin berdoa kepada beliau tidak perlu sepenuhnya didahului dengan abhiseka, kecuali ingin mempraktikkan Tantranya. Tidak demikian halnya dengan berbagai praktik Tantra yang lain.


Slokha ketiga puluh tiga:


Ketika seseorang bersiap bepergian jauh

Jika ia pergi dengan memohon ijin kepadamu

Ia tak akan disakiti oleh musuh maupun perampok yang muncul

Pelindung yang baik – aku bersujud. (33)


Ini dapat dilihat juga dalam biografi yang lain bahwa doa kepada Dewi Tara di perjalanan menyebabkan harimau tidak akan mengganggu, makhluk-makhluk seperti vetala (maksudnya hantu yang dulu di India disebut mayat hidup, yaitu orang yang sudah mati dan dilempar ke tempat pembuangan mayat menjadi bangkit kembali digerakkan oleh makhluk yang lain); bila orang berdoa kepada Dewi Tara, atau yogi-yogi yang berdiam di pekuburan, di tempat-tempat yang dihuni oleh banyak makhluk-makhluk lain, ia tidak perlu takut, dan ini ada dalam sejarah yang ditulis oleh Jonang Taranatha.


Slokha ketiga puluh empat:


Sekejap saja timbul keyakinan akan menjadi sebab

Untuk memperoleh apa pun yang diinginkan

Engkau yang mengabulkan setiap harapan dan keinginan

Bagaikan Cintamani – aku bersujud kepadamu. (34)


Dewi Tara mengabulkan segala permohonan yang ditujukan kepada beliau, hanya masalahnya adalah sejauh mana orang dapat dengan gigih melakukan doa kepada beliau. Di zaman dulu, seperti Guru Vagishvarakirti misalnya, beliau memohon kesembuhan lepranya pada Dewi Tara selama 12 tahun, tinggal di dekat temple Dewi Tara, selama 12 tahun siang dan malam setiap hari melafal doa kepada Dewi Tara, maka serta-merta lepranya hilang dan tubuhnya bermanifestasi seperti seorang pemuda. Guru Nagarjuna memohon blessing panjang umur karena beliau diramalkan pendek umur, juga melakukan meditasi kepada Dewi Tara di Gunung Sriparvata selama 12 tahun. Kalau orang berpikir bahwa keadaan hidupnya dapat berubah melalui pertolongan Dewi Tara, tetapi dia masih tidur dengan pulas, kemudian melafalnya juga tidak antusias, lalu juga banyak selingan duniawi yang lain; itu tentu membutuhkan waktu yang lebih lama lagi. Bukan Dewi Tara yang tidak hadir dan tidak memberikan pertolongan tetapi intensitas dan kesungguhan dari mereka yang berdoa kepada beliau itu yang seharusnya ditingkatkan lagi, mengingat Guru-guru di masa lalu dan apa yang mereka lakukan dalam beribadah kepada Dewi Tara.


Saya tambahkan lagi, bahwa sesungguhnya yang merintangi pertolongan atau kegiatan dari istadevata terhadap seorang penyembahnya adalah timbunan ketidakbajikan yang ada pada diri yang bersangkutan. Timbunan ketidakbajikan itu bukan hanya dalam bentuk persoalan yang sedang dirasakan; misalnya orang sedang sakit lalu didorong oleh sakit yang dideritanya lalu pergi ke tempat Dewi Tara dan berdoa, seolah-olah bahwa rintangannya hanya manifestasi penyakitnya itu, tetapi tidak demikian menurut realitasnya karena berbaris-baris karma buruk lain yang merintangi di belakang karma buruk sakitnya itu tidak terhitung jumlahnya. Maka dengan demikian, untuk mendapatkan blessing Dewi Tara, orang bisa meniru cara yang dilakukan oleh Jey Tsongkhapa dalam membuat para Buddha berkenan (Buddha Manjushri berkenan) yaitu melakukan Mandala Offering sebanyak berjuta-juta, melakukan namaskara sebanyak berjuta-juta kali, melakukan pelafalan mantra Vajrasattva; juga bisa meniru para mahasiddha yang lain, seperti Mahasiddha Kapala yang mengharapkan blessing dari Arya Avalokiteshvara dengan berpradaksina 21 hari tidak duduk sambil melafalkan mantra Arya Avalokiteshvara; atau juga para mahasiddha yang lain yang menunjukkan bagaimana mereka mengharapkan blessing dari yidamnya.


Lalu yang ketiga puluh lima:


Jika seseorang meninggalkan ikatan kehidupannya (artinya meninggal – ikatannya bisa dihilangkan)

Untuk mendengarkan nama Tara yang termulia (untuknya juga bisa dihilangkan)

Air matanya menjadi menetes (artinya kelahirannya dihancurkan)

Engkau yang memurnikan samsara – aku bersujud kepadamu. (35)


Maksudnya begini: bila orang akan meninggal, kemudian orang itu mendengar nama Tara atau mantra Tara, atau kalau yang bersangkutan seorang praktisi–dia melafalkan mantra Dewi Tara, dan menyadari aktivitas dari Dewi Tara, di mana kekuatan mantranya menutup alam-alam rendah, juga kalau kualifikasinya memungkinkan bahkan semua alam kehidupan ditutup–artinya setelah kematiannya ia akan mencapai kebebasan. Banyak dari para penyembah Dewi Tara yang kemudian bermanifestasi di alam Kebuddhaan yang disebut sebagai Kebuddhaan yang tidak perlu mengalami kelahiran kembali (Akanisca). Akanisca adalah alam Kebuddhaan di mana para penyembah Dewi Tara banyak bermanifestasi di sana, orang-orang yang melakukan puja kepada Dewi Tara, orang-orang yang pada saat kematiannya melafalkan mantra Dewi Tara, ia tidak perlu takut lahir di alam yang rendah, apa pun yang telah dilakukannya selama ia hidup. Ini merupakan hal atau cara yang baik untuk mengakhiri atau melewatkan saat-saat ketika orang berhadapan dengan kematian.


Lalu yang ketiga puluh enam:


Seseorang dengan berlindung kepadamu, pelindung bagi semua makhluk

Demikian pula dengan sahabat mereka yang terdorong

Dituntun oleh orang mulia

Oh yang memancarkan cahaya – aku bersujud kepadamu. (36)


Maksudnya, bahwa Dewi Tara akan melindungi orang yang datang kepadanya, atau orang yang diwakilkan berlindung kepadanya, itu juga akan mendapatkan perlindungan dari beliau.


Lalu yang ketiga puluh tujuh:


Hanya dengan mengucapkan kata

HULU HULU TARA

Seseorang akan terlahir di Sukhavati

Keajaiban tertinggi – aku bersujud kepadamu. (37)


Ini salah satu metode yang disebut sebagai Powa (teknik mentransformasi kesadaran ke alam lain pada saat kematian yang diiringi dengan pelafalan mantra). Dan mantra HULU HULU TARA ini dapat digunakan pada saat orang hendak memindahkan kesadarannya ke alam Surga Sukhavati (kalau menginginkannya). Inilah yang terjadi pada diri Guru Chandragomi sendiri. Jadi Guru Chandragomi menuliskan teks ini berdasarkan pengalaman dirinya sendiri, mungkin juga apa yang diajarkan kepada para siswanya, atau mungkin juga didapatkan dari Gurunya yaitu praktik bagaimana orang dapat memindahkan kesadarannya menggunakan sandaran Dewi Tara.


Sekarang mengenai kebajikan dari pelafalan doa-doa atau pujian ini. Guru Chandragomi menulis bahwa kebajikannya bermacam-macam (ada lima slokha mengenai kebajikannya):


Yang pertama:


Membaca MUKTIKA MALA STOTRA ini

Memiliki keluhuran yang tak terperi

Racun dan senjata takkan berakibat padanya

Seseorang akan diselamatkan dari segala marabahaya. (38)


Kita harus ingat bahwa teks ini tidak ditulis oleh seorang praktisi biasa tetapi ditulis oleh seorang mahasiddha; apa pun yang keluar dari kesadaran seorang mahasiddha, apa pun yang diucapkan oleh seorang mahasiddha, itu akan mengalami kenyataan. Dalam teks aslinya yang berbahasa Sanskrit dulu pada zaman Guru Chandragomi, teks ini merupakan mestika atau pusaka yang menimbulkan berbagai macam pengaruh pada mereka yang membacanya, seperti yang diungkapkan oleh Guru Chandragomi sendiri. Dari bahasa aslinya kemudian dibahasa-Tibetkan melalui tangan Guru Atisha, ini masih memiliki kualitas yang sama dengan aslinya karena Guru Atisha sendiri sebetulnya juga seorang mahasiddha. Lalu dari bahasa Tibet mengalami penyurutan bergantung kepada keyakinan dari orang yang bersangkutan, kalau keyakinannya sangat kuat maka ia akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Guru Chandragomi.


Yang kedua:


Manfaat mendengarnya

Meskipun hanya seekor binatang, ia akan terlahir di alam yang lebih bahagia

Raja yang mendengarkan

Seseorang akan senantiasa memperoleh apa pun yang ia inginkan. (39)


Kalau orang melafalkan slokha-slokha ini kemudian ada seekor anjing atau seekor burung yang mendengarnya, dia akan bernasib seperti Guru Ashvaghosha atau Guru Sthiramati atau seperti siswa Guru Atisha yang dulunya seekor anjing. Ia akan terpengaruh oleh kekuatan yang terkandung di dalam teks ini, berdasarkan pranidhana dari para mahasiddha. Raja yang mendengarkan, ia akan senantiasa memperoleh apa pun yang diinginkannya.


Jika seseorang membacanya selama dua puluh satu kali

Kematian yang tidak pada saatnya dan penyakit akan dihapuskan

Itu merupakan obat yang mengalahkan tubuh

Ia akan membebaskan seseorang dari hukuman raja. (40)

Berbagai kebajikan akan datang

Latihannya akan berkembang tanpa hambatan

Seseorang tidak akan dipisahkan dari jalan Tathagata

Seseorang akan sampai pada akhir dari latihannya. (41)


Pembacaan ini akan menumbuhkan kemuliaan seseorang

Kemurnian, bebas dari noda

Dan delapan puluh pintu samadhi akan terbuka

Keterbatasan akan dihancurkan dan seseorang menjadi bangun. (42)


Lalu slokha yang terakhir adalah slokha dedikasi atau pelimpahan jasa Guru Chandragomi:


Semoga kebajikan dari memujimu, Dewi

Dengan Muktika Mala ini, yang bagaikan bulan purnama

Menerangi kegelapan dalam hati makhluk hidup

Dan membuat cahaya kebijaksanaan bersinar. (43)


Lalu sekarang catatan kaki, di sini tertulis:


MUKTIKA MALA STOTRA, pujian bagi Arya Tara oleh Acharya Chandragomi yang juga disebut Bulan Purnama, yang tak diragukan pengetahuannya pada Kelima Ilmu serta bagaikan Mahkota Permata bagi Para Pujangga telah lengkap.


Naskah ini diterjemahkan, diteliti dan diselesaikan di bawah perhatian Upadhyaya India Dipamkara-srijnana oleh Penerjemah Tibet Lotsawa Nakts’o Ts’ultrim Gyalwa (atau Jayasila), di Vihara Vikramasila (India).


Teks bahasa Indonesia ini diterjemahkan dari bahasa Tibet.


Ini adalah akhir dari pelajaran kita mengenai teks Guru Chandragomi. Mengapa kita perlu mempelajari teks-teks seperti ini? Tujuannya adalah untuk membangkitkan pengertian yang menyeluruh dalam berbagai aspeknya pada Dewi Tara. Selama ini praktik Dewi Tara memang sudah diketahui dan sebagian dari kegiatan Dewi Tara telah diketahui, tetapi dengan mempelajari secara seksama teks-teks yang ditulis oleh para Guru Tarasiddha (para mahasiddha Dewi Tara), kita akan dapat mengikuti atau melihat bagaimana sesungguhnya pandangan para mahasiddha Dewi Tara dalam melihat Dewi Tara, dan dengan demikian akan memudahkan kita dalam mendekatkan diri kita dalam menjalankan ibadah kepada Dewi Tara. Sekarang Mandala Offering singkat.


Arya Tara Devi Stotra Muktika Mala Nama yang berarti “Untaian Mutiara Pujian Kepada Dewi Tara” ditulis oleh Guru Chandragomi sebagai teks puji-pujian yang sangat berharga kepada Arya Tara karena akan memperindah mereka yang mengucapkannya dan membuatnya menjadi sangat berharga. Teks ini sangat baik dilafalkan karena memiliki dua sisi blessing yaitu yang pertama blessing yang berasal dari arus kesadaran sang Guru yang menulisnya, lalu yang kedua blessing yang berasal dari objek yang menjadi tujuan dari doa-doa atau pujian ini yaitu Dewi Tara.


Catatan. Teks ini merupakan milik Tara Temple Jakarta. Telah di terbitkan sebagai buku. Pemakaian teks ini untuk kepentingan diluar pribadi harus seijin Tara Temple Jakarta.